Sukses

Sri Mulyani Kaji Usulan Kenaikan Bea Keluar Ekspor Konsentrat

Bea keluar yang ditetapkan bagi perusahaan tambang itu nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tengah mengkaji usulan kenaikan bea keluar konsentrat maksimal menjadi 10 persen seperti diutarakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Bea keluar yang ditetapkan bagi perusahaan tambang itu nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

"Sesuai dengan spirit sebelumnya, apakah dengan undang-undang akan dilakukan hilirisasi dan smelter. Jadi dihubungkan antara kemampuan mengekspor dengan progress itu (kenaikan), sehingga nanti akan dilaksanakan dengan apa yang disampaikan Menteri ESDM," ujar dia di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/1/2017).

Dalam pelaksanaan penyesuaian tarif bea keluar ini, Sri Mulyani menyatakan akan akan diatur dalam PMK.

"Yang dilakukan Pak Menteri ESDM nanti akan kita lihat, kemudian akan kita tuangkan dalam PMK untuk pelaksanaannya," ucap dia.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku pemerintah pernah membahas kenaikan bea keluar ekspor konsentrat.

"Kebijakan ekspor konsentrat yang merumuskan Menteri ESDM. Memang waktu itu ada pembicaraan menaikkan bea keluar, tapi ‎berapanya ya kalau sudah diumumkan segitu, ya begitu," ucap dia.

‎Darmin menolak jika usulan bea keluar ekspor konsentrat 10 persen terlalu tinggi bagi pengusaha. "Tidaklah (memberatkan). Karena waktu itu di ESDM ada pembicaraan bea keluar naik, tapi waktu di rapat, tidak sebutkan persisnya berapa," dia memaparkan.

Lebih jauh kata dia, perusahaan pertambangan harus berkomitmen mengubah status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Kedua, wajib membangun pabrik pengolahan (smelter). Sedangkan ketiga, divestasi saham perusahaan tambang asing 51 persen.

"Bikin smelter tidak seperti dulu. Dia harus komitmen melaporkan kemajuan proyek di tahun pertama, ‎tahun kedua, ketiga berapa persen. Bedanya kalau dulu, kalau tidak dibikin langsung cabut. Tapi sekarang tidak cabut, ekspornya bisa disetop. Jadi ini sanksinya," ucap Darmin.(Fik/Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.