Sukses

ABK Kerap Jadi Korban Perdagangan, Menteri Susi Terbitkan Aturan

Aturan ini diterbitkan dua tahun setelah pemberitaan mengenai kondisi mengenaskan di kapal asing yang ada di perairan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan.

Peraturan baru diluncurkan berdasarkan laporan hasil penelitian International Organization of Migration (IOM) tentang Perdagangan Orang di Sektor Perikanan Indonesia yang menyasar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di industri perikanan.

“Laporan penelitian ini merupakan satu-satunya publikasi yang memberikan gambaran utuh dan kritis tentang perdagangan orang dan kerja paksa di industri perikanan di Indonesia,“ ujar Susi di Gedung Mina Bahari IV Jakarta, Selasa (24/1/2017).

Dalam peluncuran Permen Nomor 2 Tahun 2017 dan penelitian IOM ini turut hadir mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, para duta besar dari negara sahabat untuk Indonesia, serta para pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Menteri Susi menambahkan, peraturan tersebut akan menciptakan mekanisme sertifikasi untuk memastikan industri perikanan di Indonesia bebas dari pelanggaran HAM.

Aturan ini diterbitkan dua tahun setelah pemberitaan mengenai kondisi mengenaskan di kapal asing yang ada di perairan Indonesia.

"Permen KP tersebut mewajibkan semua perusahaan di sektor perikanan untuk menyerahkan laporan detail untuk memastikan kesejahteraan Anak Buah Kapal (ABK) dan awak kapal perikanan Iainnya," dia menegaskan.

Atas kerja sama yang erat dengan pemerintah Indonesia, IOM pada Maret 2015 teIah mengidentifikasi dan memberikan bantuan kepada ribuan ABK asing korban perdagangan manusia.

Mereka dibebaskan dari kondisi perbudakan di kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Indonesia Timur setelah diterapkannya moratorium untuk memperpanjang izin operasi.

Penelitian terhadap hasil wawancara kepada lebih dari 1.100 korban perdagangan manusia menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang sistematis dan masif serta tindak kriminalitas mulai dari pemalsuan dokumen hingga pembunuhan.

Tumpang tindihnya peraturan di industri ini juga turut melanggengkan praktik tersebut. “Kita patut mengapresiasi pemerintah atas berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah yang menyebabkan perdagangan orang dan eksplotasi tenaga kerja, seperti yang kami sebutkan dalam laporan ini," kata Kepala Misi IOM Indonesia, Mark Getchell.

Diluncurkan secara resmi hari ini, laporan mengenai Perdagangan Orang, Pekerja Paksa, dan Kejahatan Perikanan merupakan satu-satunya laporan yang disusun berdasarkan pengalaman Iangsung dari para saksi mata yang menjadi korban perdagangan orang di kapai.

Penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara IOM Indonesia dan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan lkan Secara Ilegal (Satgas 115) Kementerian Kelautan dan Perikanan serta bantuan Universitas Indonesia dan Coventry University.

Temuan dari laporan ini meliputi:

1. Penipuan yang sistematis dan terstruktur dalam praktik rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di Asia Tenggara

2. Berbagai pernyataan dari saksi mata mengenai kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal

3. Kasus eksploitasi tenaga kerja (memaksa ABK untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari)

4. Berbagai bentuk tindakan melawan hukum, di antaranya mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, transhipment ilegal, pemalsuan dokumen dan logbook.

"Serta tumpang tindih peraturan perundangan yang mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah terkait dengan pengawasan rekrutmen tenaga kerja, kondisi kerja, perusahaan perikanan, agensi perekrutan, dan kapal," ucap Getchell.

Selain mendorong pemerintah untuk melakukan audit HAM yang telah direspons melalui peraturan yang diluncurkan hari ini, Iaporan dari IOM tersebut juga menyimpulkan bahwa masih dibutuhkan ketelitian dalam upaya merekam pergerakan kapal di perairan Indonesia, investasi dalam pelatihan HAM dan Illegal Unregulated And Unreported (IUU) Fishing.

Serta inspeksi di pelabuhan dan kapal di laut, perampingan peraturan pemerintah, dan pembentukan sebuah jaringan berbasis pelabuhan untuk memudahkan pelaut untuk menghubungi keluarga, melaporkan adanya kekerasan, dan mencari perlindungan.(Fik/Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.