Sukses

Jual Beli Listrik Makin Adil dengan Aturan Ini

Menteri ESDM Ignasius Jonan telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 10 Tahun 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Melalui aturan tersebut, diharapkan akan ada kesetaraan antara pembeli (PT PLN) dengan penjual (Independent Power Producer/IPP).

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman mengatakan, Permen 10/2017 mengatur Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) antara PLN dan IPP, terkait aspek komersial untuk seluruh jenis pembangkit listrk, termasuk panas bumi, PLTA, dan PLT Biomass.

Akan tetapi aturan ini tidak mengatur pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) yang intermiten, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan dan PLTH di bawah 10 Megawatt (Mw) karena sudah diatur dalam Permen Nomor 12 Tahun 2017.

"Kalau PLTS kan tergantung pada kondisi alam, kalau ada matahari, bisa terang. Tapi kalau redup, ya padam, bahkan pembangkit tidak beroperasi," jelasnya.

Permen 10/2017, dituturkan Jarman, mencakup beberapa pokok aturan. Pertama, jangka waktu PJBL paling lama 30 tahun dengan mempertimbangkan jenis pembangkit dan dihitung sejak pengoperasian secara komersial (COD).

Kedua, PJBL menggunakan pola kerjasama berupa Build, Own, Operate, Transfer (BOOT). Artinya, dibangun, dimiliki, dan dioperasikan swasta, tapi begitu masa kontrak habis harus di transfer.

Ketiga, dalam PJBL, biaya kapasitas (komponen A) pada harga jual tenaga listrik dihitung berdasarkan nilai investasi yang didepresiasi minimal 20 tahun. Keempat, ketentuan komisioning wajib mengacu pada Permen ESDM 5/2014 jo. 10/2016 tentang Tata Cara Akreditasi dan Sertifikasi Ketenagalistrikan.

Pokok aturan kelima, pengoperasian wajib mengacu pada Permen tentang Grid Code yang telah tersusun, yakni ada Grid Code Jawa Madura Bali, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan.

Keenam, ketentuan COD. Jarman mengaku, jika terjadi percepatan COD karena diminta PLN, maka pengembang berhak mendapatkan insentif. Karena untuk mempercepat proses pembangunan tentu harus meningkatkan biaya.

"Tapi sebaliknya, kalau terlambat pengembang mendapatkan pinalti sebesar beban yang ditanggung PLN karena mundurnya pembangkit," terangnya.

"Supaya ada kesetaraan antara penjual dan pembeli dalam jual beli listrik. Karena selama ini, kita belum melihat ada kesetaraan," ucap Jarman di kantornya, Jakarta, Kamis (2/2/2017).

Tujuan lainnya dalam penerbitan aturan anyar ini, kata dia, memberi payung hukum agar pembangkit listrik memenuhi kehandalan. "Ada pembangkit listrik yang tidak memenuhi kehandalan, sehingga secara kapasitas cukup tapi karena tidak handal, jadi padam," tegas Jarman.

Ketujuh, PLN wajib membeli listrik sesuai Availability Factor (AF) atau Capacity Factor (CF) dengan harga sesuai persetujuan harga jual. Kedelapan, IPP wajib menyediakan energi sesuai kontrak (ketentuan deliver or pay).

Jarman bilang, seandainya IPP tidak dapat mengirimkan energi listrik sesuai kontrak karena kesalahan IPP, maka IPP atau penjual wajib membayar pinalti kepada PLN. Pinalti proporsional sesuai biaya yang dikeluarkan PLN untuk menggantikan energi yang tidak dapat disalurkan.

"Kalau dalam suatu sistem ada harga listrik yang ditawarkan IPP misalnya Rp 500 per kWH. Tapi pada saat PLN ingin memperoleh listrik dari IPP, pembangkit itu tidak bisa menyalurkan listrik, sehingga PLN terpaksa membeli listrik Rp 700 per kWH. Jadi IPP dikenakan pinalti Rp 200 per kWH, perbedaan kemahalan ini harus dibayar IPP," terang dia.

"Sebaliknya, kalau PLN tidak bisa mengambil listrik sesuai kontrak yang dijanjikan, PLN harus membayar biaya. Inilah yang disebut kesetaraan dalam jual beli listrik," papar Jarman.

Kesembilan, pelaksanaan operasi sistem untuk memenuhi kebutuhan beban melalui pembangkitan dengan biaya termurah (least cost). Terakhir, pengendali operasi sistem (dispatcher) wajib melaporkan kepada pemerintah, terutama pelaksanaan Performance Guarantee untuk pinalti bulanan.

"Supaya pelaksanaan ini benar-benar fair, wajib melaporkan setiap bulan transaksi yang ada. Karena biasanya pinalti dibayarkan setiap bulan, jadi harus dikontrol dan harus dilaporkan pemerintah," tandas Jarman. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini