Sukses

Jokowi: Ketimpangan Lahan Jadi Tantangan Pemerataan Ekonomi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, lahan merupakan aset yang sangat penting bagi 40 persen kelompok masyarakat lapisan terbawah.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, dalam mewujudkan pemerataan ekonomi, masalah ketimpangan lahan menjadi tantangan yang paling utama dan harus segera diselesaikan.

Dia menjelaskan, lahan merupakan aset yang sangat penting bagi 40 persen kelompok masyarakat lapisan terbawah. Untuk itu pemerintah harus berikan akses lahan bagi penduduk yang kurang mampu.

"Buruh tani yang tidak memiliki lahan sehingga tercipta skala ekonomi untuk meningkatkan income dan pendapatan mereka," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (7/2/2017).

Jokowi menjelaskan, dari data yang dimilikinya, masih terjadi konsentrasi penguasaan lahan secara besar-besaran oleh sekelompok orang atau korporasi. Bahkan informasi dia terima, para pengumpul lahan yang besar hanya membayar 1/4 dari nilai pajak transaksi yang seharusnya disetorkan ke negara.

"Hal ini harus segera kita perbaiki, kita tata melalui reforma agraria dan sistem pajak yang berkeadilan," tandas dia.

Untuk diketahui, Salah satu fokus pemerintah dalam pembangunan adalah mengatasi gap atau ketimpangan ekonomi dan sosial. Untuk mengatasi ketimpangan ekonomi-sosial yang terjadi selama ini, pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla meluncurkan sebuah program komprehensif Kebijakan Ekonomi Berkeadilan.

“Kebijakan ini bersifat affirmative action untuk mencegah terjadinya reaksi negatif terhadap pasar, terhadap sistem demokrasi, sekaligus mencegah terjadinya friksi akibat konflik sosial di masyarakat,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Selasa (3/1), di Istana Bogor.

Darmin menegaskan kebijakan ini tidak berbasis ras atau etnis namun lebih pada upaya meningkatkan equity (permodalan) masyarakat golongan ekonomi lemah agar mendapat kesempatan untuk meningkatkan kapasitas serta memperbaiki kualitas hidup.

Undang Undang Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis memang menegaskan pentingnya negara memberikan perlakuan dan perlindungan yang sama kepada setiap warga negara tanpa memandang ras dan etnis. Ini juga sejalan dengan tesis Profesor Amy Chua dari Yale Law School dalam bukunya yang berjudul Wold on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability (2003).

Menurut Chua, demokratisasi berpotensi meningkatkan konflik etnis ketika etnis minoritas lebih makmur secara disproporsional. Untuk mencegah hal itu terjadi, pemerintah pun mengambil kebijakan afirmatif terhadap kelompok ekonomi lemah.

Darmin melanjutkan, Kebijakan Ekonomi Berkeadilan ini mencakup 3 (tiga) area pokok, yakni kebijakan berbasis lahan, kebijakan berbasis kesempatan, dan kebijakan berbasis peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). (Dny/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.