Sukses

Ini Persamaan Indonesia dan Arab Saudi

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) siap menerbitkan obligasi syariah atau sukuk global pada Maret 2017. Ternyata, langkah pemerintah Indonesia mencari pembiayaan melalui penerbitan surat utang juga dilakukan Arab Saudi yang saat ini terlilit defisit anggaran.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang DJPPR Kemenkeu, Schneider Siahaan usai Rapat Pimpinan mengungkapkan, saat ini pemerintah sedang melakukan persiapan untuk menerbitkan sukuk global di Maret ini. Tahun lalu, Kemenkeu menjual sukuk global US$ 2,5 miliar.

"Optimistis Maret ini. Sekarang lagi persiapan, kan persiapan cukup lama, due diligent, dokumentasi, dan lain-lain," ujar dia saat ditemui di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (27/2/2017).

Untuk diketahui, Kemenkeu menerbitkan sukuk global sebagai bagian dari upaya mencari pembiayaan untuk menambal defisit anggaran yang dipatok Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah akan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) gross Rp 596,8 triliun.

Dalam rencana penerbitan obligasi negara syariah alias sukuk global tersebut, sambung Schneider, biasanya pemerintah mengandalkan pasar Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya.

Namun kondisinya sekarang ini antara Indonesia dan Arab Saudi tidak berbeda jauh sehingga pemerintah belum berniat menawarkan sukuk itu ke Raja Arab Saudi Salman saat kunjungannya pada 1-9 Maret 2017.

"Dia (Raja Salman) mau jualan sahamnya Aramco. Dia menerbitkan obligasi juga sama kayak kita. Dia ngutang juga. Jadi tidak tahu lah, yang penting Raja Salman datang, bawa mobil banyak, rombongan ribuan orang, kita happy saja," Schneider menjelaskan.

Lebih jauh dia mengatakan, masih ada prospek bagi Indonesia untuk menjual sukuk global di Arab Saudi meskipun tidak terlalu besar seperti sebelumnya. Seperti diketahui, penerimaan Arab Saudi dari ekspor minyak mentah anjlok akibat penurunan harga komoditas tersebut.

"Dulu kan harga minyak masih US$ 100 per barel, tapi sekarang dia (Arab Saudi) pusing. Mereka banyak subsidi, jadi harus membayar subsidi itu dengan turunnya harga minyak. Kita sih pernah ketemuan dengan negara-negara Teluk, mereka siap-siap nerbitin global bond untuk memenuhi budget-nya," dia menerangkan.

Schneider mengaku, Indonesia dan Arab Saudi saat ini mengalami kondisi serupa. Sama-sama membutuhkan pembiayaan guna menutup defisit fiskal. "Jadi bukan bersaing lah ya, kita senasib, sama-sama nyari pembiayaan," dirinya berucap.

Menurutnya, ada peluang pasar untuk menawarkan sukuk global selain Arab Saudi. Sebagai contoh, negara-negara maju yang memiliki pendapatan per kapita tinggi sehingga dapat mengalokasikan dananya untuk investasi di portofolio surat utang lebih besar.

"Pasar global sebetulnya luas sekali, seperti Eropa Barat, Amerika, atau negara maju Jepang atau investor yang punya banyak duit. Tadinya kan negara-negara Arab, tapi karena lagi turun harga minyak, sedang sibuk diversifikasi supaya tidak tergantung minyak lagi, itu butuh waktu, investasi besar, jadi transisi tidak bisa cepat," Schneider menuturkan. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.