Sukses

Genjot Pembangunan, Pemerintah Diminta Perhatikan 3 Aspek

Tantangan utama pembangunan nasional saat ini antara lain, terus bertambahnya jumlah penduduk yang mendorong meningkatnya kebutuhan.

Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Indonesian Environmental Scientists Association/IESA) mengingatkan agar pembangunan nasional harus menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan sebab sumber daya alam dan jasa lingkungan memiliki keterbatasan.

Ketua Umum IESA Tri Edhi Budhi Soesilo mengungkapkan tantangan utama pembangunan nasional saat ini antara lain, terus bertambahnya jumlah penduduk yang mendorong  meningkatnya kebutuhan dan keinginan atas barang dan jasa.

Di sisi lain, sumber daya alam tidak terbarukan semakin terbatas dan terjadi deplesi (penyusutan) kapital alam. Sementara tingkat pengetahuan dan ketrampilan di Indonesia yang masih rendah.

“Serta pada kenyatannya, teknologi tidak mampu menggantikan sebagian besar fungsi sumber daya alam dan jasa lingkungan,” kata dia.

Permintaan ini merupakan pernyataan IESA dalam manifestonya pada Kongres Pembangunan dan Lingkungan 2017 di Jakarta, akhir pekan lalu.

Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta jiwa pada 2035. Sementara berdasarkan perhitungan Kementerian energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2009, cadangan minyak mentah Indonesia akan habis dalam kurun 22,9 tahun, gas  habis dalam 58,9 tahun, dan batu bara habis dalam 82 tahun.

Sementara menurut kajian UNDP tahun 2014, indeks pembangunan manusia di Indonesia saat ini baru mencapai 0,684 dan berada di rangking 110. Sedikit di atas Filipina yang berada di peringkat  115, namun jauh di bawah Tiongkok yang berada di peringkat 90.

Dalam situasi tersebut, bencana alam di Indonesia justru menunjukan peningkatan. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kejadian bencana di Indonesia naik dari 143 kejadian pada tahun 2002 menjadi 1.967 kejadian pada tahun 2014.

Sekitar 98 persen dari total kejadian bencana per tahun, adalah bencana hidrometeorologis seperti anjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan. Tren bencana ke depan diproyeksi BNPB akan terus meningkat dikarenakan perilaku manusia (antropogenik).

Ketua Bidang Kerjasama dan Komunikasi IESA Mahawan Karuniasa menambahkan, meningkatnya bencana  hidrometeorologis tak bisa lepas dari perubahan iklim yang saat ini terjadi.

“Ini menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan nasional,”  kata Mahawan yang juga merupakan perwakilan Indonesia di Paris Committee on Capacity-building perubahan iklim di konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC).

Pada 2012, Indonesia menghasilkan emisi karbondioksida sebanyak 435,5 metrik ton (MT) atau 4,5 persen dari total emisi global. Emisi dari sektor energi menyumbang 25 persen dari catatan emisi Indonesia.

Jika emisi karbondioksida dirinci, sebanyak 42,1 persen berasal dari pembangkit listrik, 21,6 persen dari industri manufaktur dan konstruksi, 29,5 persen dari transportasi, dan 6,8 persen emisi berasal dari perumahan, komersial, layanan publik, pertanian dan kehutanan.

Indonesia sudah mencanangkan komitmen untuk  menurunkan emisi karbondioksida secara sukarela sebesar 26 persen pada 2020, dan bisa mencapai 41 persen dengan bantuan internasional.

Staf Khusus Kepala Kantor Staf Presiden Noer Fauzi Rachman berharap dukungan anggota IESA terkait kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan.

Dia menuturkan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan memperluas akses rakyat terhadap lahan. Ada program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan reforma agraria seluas 9 juta hektare.

"Perlu dukungan pemikiran dari para ahli lingkungan agar usaha rakyat yang dijalankan menghasilkan ekonomi bernilai tinggi dan bernilai tinggi juga secara ekologi," dia menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini