Sukses

Indeks Pembangunan RI Lebih Rendah dari Malaysia dan Turki

Ketimpangan dan stabilitas ekonomi yang bervariasi antar wilayah di Indonesia menjadi tantangan pertumbuhan ekonomi.

Liputan6.com, Jakarta - Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah guna mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Pasalnya, 24 persen provinsi mencatatkan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.

Wakil Ketua KEIN, Arief Budimanta, menyampaikan hal itu saat Diskusi Bedah Buku "Menuju Ketangguhan Ekonomi Sumbang Saran 100 Ekonom Indonesia" di Main Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (4/4/2017).

"Kalau melihat realisasi pertumbuhan ekonomi di daerah sepanjang 2011-2016, ada 24 persen provinsi tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, seperti Aceh, Kalimantan Timur (Kaltim), dan daerah lainnya," ujar Arief.

Sementara itu, ia menuturkan, sebesar 44 persen provinsi lainnya mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil, meliputi Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan masih banyak lainnya. Di provinsi-provinsi tersebut, pertumbuhan ekonomi yang dicetak bisa mencapai dua digit, tapi di tahun mendatang hanya satu digit, sehingga tidak stabil.

"Ada beberapa persoalan yang menyebabkan hal itu, karena salah satunya belum masuk radar kita secara keseluruhan daerah dibiarkan bergerak sendiri," Arief menegaskan.

Arief menuturkan, pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur (Kaltim) pada 2016 terkontraksi 0,4 persen. Sementara tahun ini ditargetkan mencapai 7 persen di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dirinya menambahkan, KEIN melakukan studi kasus di Kalimantan Tengah (Kalteng), Aceh, dan Kaltim. Ia mengatakan Provinsi Kaltim mencatatkan pertumbuhan negatif dalam lima tahun terakhir, sedangkan kondisi Aceh dan Kalteng berbeda.

"Di Aceh unik, jatah transfer ke daerah Rp 12,5 triliun per tahun dengan penduduk 12,5 juta jiwa, tapi pertumbuhan ekonomi terkontraksi di 2015. Sedangkan di Kalteng dengan APBD Rp 4 triliun dan jumlah penduduk yang sama, mampu tumbuh di atas pertumbuhan nasional," ujar Arief.

Dia menuturkan, Kalteng berhasil melakukan diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi dari beberapa sektor. Sementara pemerintah Aceh hanya bergantung pada konsumsi dan pengeluaran pemerintah. Padahal sebagian belanja konsumsi di Aceh justru datang dari luar daerah, seperti Sumatera.

"Dari sektor pembiayaan, pengumpulan dana pihak ketiga di Aceh sangat rendah, pertumbuhannya hanya 3 persen, tapi kredit konsumsinya sampai dua digit. Sedangkan kredit produktif justru tidak sesuai dengan potensi di daerah-daerah tersebut," kata Mantan Anggota Komisi XI DPR RI itu.

Arief mengatakan, ketimpangan dan stabilitas ekonomi yang bervariasi antar wilayah di Indonesia menjadi tantangan pertumbuhan ekonomi nasional. Jadi diharapkan strategi pembangunan wilayah mulai dari pinggiran bukan sekadar retorika, tapi serius dilaksanakan.

"Sumber daya manusia terkait daya saing dan produktivitas menjadi kunci supaya Indonesia tumbuh lebih tinggi, apalagi kalau basisnya regional," ucap dia.

Dari catatannya, berdasarkan provinsi pada 2015, sangat sedikit daerah yang mencatatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di level tinggi. Paling menyedihkan, Arief bilang, IPM di Papua yang paling rendah. IPM Indonesia pun lebih rendah dibanding Malaysia,  dan Turki. 

Indeks pembangunan manusia menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. IPM ini diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada 1990.

"UNDP baru mengeluarkan laporan IPM dengan memasukkan unsur baru, yakni tingkat harapan hidup dan PDB per kapita, peringkat IPM Indonesia 113, Malaysia 59, Turki 71. IPM Indonesia tumbuh 0,89 persen," papar Arief.

Atas dasar itu, Ia menuturkan, KEIN melakukan simulasi menghubungkan pertumbuhan ekonomi dan IPM melalui pembangunan berbasis outcome. Apabila serius dijalankan secara nasional dan melakukan perubahan, maka kenaikan IPM 1 persen akan mengerek PDB 7,9 persen.

"Persoalan produktivitas terhadap gini ratio menjadi penting. Kebijakan Jokowi fokus pada pemerataan sudah tepat dan harus didukung sehingga kita punya ketangguhan perekonomian nasional yang stabil. Tanpa itu, volatilitas perekonomian kita tetap saja terjadi," tegas Arief.

Arief menuturkan, ada beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut:

1. Pemerintah pusat hadir dan membantu daerah mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan berkualitas
2. Pemerintah pusat dan daerah harus menjaga iklim usaha dengan baik
3. Mendorong penyebaran investasi di Jawa dan Luar Jawa berdasarkan potensi daerah
4. Mendorong perkembangan proyek infrastruktur stratgeis nasional sesuai kebutuhan industri dan masing-masing daerah
5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan potensi kearifan lokal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.