Sukses

Bantah Tudingan Eropa, Sawit RI Dinilai Lebih Ramah Lingkungan

Dalam setahun, sawit menyerap air 1.104 milimeter, lebih sedikit jika dibandingkan tanaman lain seperti sengon.

Liputan6.com, Jakarta Stigma negatif yang tertuju ke komoditas sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia seperti tidak ramah lingkungan, dinilai berasal dari informasi yang salah dan tidak memiliki dasar penelitian yang ilmiah.

“Semua stigma negatif itu berasal dari informasi yang tidak berdasar. Karena dari berbagai penelitian, semuanya itu tidak terbukti,” ujar Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bedjo Santoso di Jakarta,

Menurut data yang dia miliki, tanaman sawit justru lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan jenis tanaman hutan. Salah satunya, dari sisi penyerapan air, sawit justru lebih efisien.

Dalam setahun, sawit menyerap air 1.104 milimeter, lebih sedikit jika dibandingkan tanaman sengon (1.355), jati (1.300), mahoni (1.500), maupun pinus (1.975).

Sementara itu dari sisi penyerapan karbondioksida (CO2), sawit justru lebih banyak menyerap CO2 jika dibandingkan dengan empat tanaman hutan tersebut.

Bahkan, tiap hamparan sawit seluas 1 hektare (ha) mampu menyerap CO2 sebanyak 36 ton. Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman sengon yang hanya mampu menyerap CO2 sekitar 18 ton, jati (21 ton), mahoni (25 ton), dan pinus (20 ton).

Menurut dia, informasi yang menuduh sawit menyebabkan kerusakan berasal dari pesanan negara lain dengan tujuan melindungi komoditas minyaknya, seperti tanaman rapeseed, sun flower (bunga matahari), maupun soyben (kedelai).

“Padahal justru tanaman sawit justru lebih efisien menggunakan lahan jika dibandingkan dengan tanaman rapeseed, bunga matahari, maupun kedelai itu. Perbandingannya sekitar 1 berbanding 10,” tutur dia.

Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan Mukti Sardjono mengatakan rata-rata produktivitas sawit saat ini tiap tahunn sekitar 4,27 ton per hektare (ha) dengan total lahan di seluruh dunia baru sekitar 20,23 juta ha.

Sementara itu tanaman rapeseed yang menjadi andalan petani di Eropa, produktifitas tiap tahun hanya 0,69 ton per ha dan telah menggunakan lahan seluas 33,66 juta ha.

Tanaman kedelai yang banyak ditanam di Amerika Utara dan Kanada hingga saat ini telah menggunakan lahan seluas 121,99 juta ha dan produktifitasnya tiap tahunnya hanya 0,45 ton per ha.

Untuk bunga matahari yang juga banyak ditanam di Eropa produktifitasnya hanya 0,52 ton per ha dan hingga 2016 telah menggunakan lahan seluas 24,69 juta ha. “Ini artinya apa, tanaman sawit jauh lebih efisien,” kata dia.

Produktivitas minyak sawit per ha lahan jauh lebih tinggi (8-10 kali lipat) dari produktifitas minyak nabati lainnya.

Jadi, kata Mukti Sardjono, salah besar apabila Parlemen Eropa dalam resolusinya merekomendasikan tanaman sawit di Indonesia diganti dengan rapeseed dan sun flower.

Apabila itu dilakukan, kata dia, bisa dipastikan perambahan hutan semakin masif. Sebab jelas dibutuhkan lahan yang lebih luas. Selain itu juga karena kedua tanaman tersebut kurang cocok ditanam di Indonesia yang beriklim tropis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.