Sukses

Derita TKI di Hong Kong, Kena Pungutan hingga Rp 40 Juta

Dari 215 kasus berkaitan dengan TKI di Hong Kong, sekitar 93 persen adalah pelanggaran perjanjian penempatan.

Liputan6.com, Jakarta - Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran di Hong Kong kerap menemui berbagai masalah.

Paling banyak adalah kasus pungutan biaya tinggi yang dikenakan agen TKI hingga Rp 40 juta per orang. Parahnya lagi cara pembayaran dengan memotong upah TKI hingga 9 bulan lamanya.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto mengungkapkan data kasus yang dialami buruh migran Indonesia mencapai 1.501 pengaduan selama dua tahun terakhir (2015-2017). Khusus di Hong Kong, ada 215 kasus.

"Sebesar 93 persen dari 215 kasus itu adalah kasus pelanggaran perjanjian penempatan yang menyebabkan pekerja migran mengalami pembebanan biaya mahal atau overcharging," kata dia saat Konferensi Pers di kantor LBH Jakarta, seperti ditulis Senin (1/5/2017).

Meski mengantongi upah minimum 4.300 dolar Hong Kong atau setara dengan Rp 7,31 juta per bulan (asumsi kurs Rp 1.713 per dolar Hong Kong), Hariyanto menjelaskan, buruh migran Indonesia harus menyetor uang sekitar Rp 30 juta-Rp 40 juta per orang kepada Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) atau agensi di Hong Kong.

Padahal, Ia menuturkan, dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja, TKI di Hong Kong misal, dipungut pembayaran sekitar Rp 14,5 juta. Sementara bagi yang sudah pernah bekerja di Hong Kong, dikenakan ongkos Rp 9 juta karena tidak perlu lagi mengikuti pendidikan dan pelatihan.

"Tapi faktanya mereka kena overcharging, kena biaya mahal Rp 30 juta-Rp 40 juta, baik TKI yang sudah pernah maupun yang belum pernah bekerja di Hong Kong. Itu buat biaya pendidikan, medical check up, hak tinggal selama di penampungan, dan lainnya," jelas Hariyanto.

Dengan tanggungan biaya dua kali lipat itu, dia bilang, buruh migran harus rela gajinya dipotong lumayan besar dalam jangka waktu 6 bulan-9 bulan oleh PPTKIS atau agensi TKI di Hong Kong.

"Upah 4.300 dolar Hong Kong, dipotong ada yang 900-1.300 dolar Hong Kong. Itu dikalikan 6-9 bulan. Tapi kebanyakan dipotong sampai 1.500 dolar Hong Kong," Hariyanto memaparkan.

Perjanjian penempatan yang diatur Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2014 sudah mengatur komponen biaya penempatan di negara Hong Kong. Dia menuturkan, bila saja pengawasan kontraktual mulai dari masa pra penempatan sudah dilakukan, maka permasalahan overcharging dapat diminimalkan.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Advokasi Migrant Institute Nursalim menambahkan, berbagai persoalan menyangkut buruh migran di Hong Kong hingga kini belum terselesaikan.

Contohnya pelayanan KJRI kurang maksimal, overcharging, kebebasan beragama, narkotika, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak sampai dengan jual beli pekerjaan.

"Pekerja migran perempuan posisinya paling rentan, karena kondisi pekerjaannya jam kerja berlebih, kekerasan fisik dan psikis, dipindahkerjakan, pelecehan seksual, sampai tak dibayar gajinya," keluh Nursalim.

Dari datanya, pengaduan terbanyak datang dari buruh migran di Hong Kong. Sepanjang 2016, Nursalim mengaku, sudah menerima pengaduan sebanyak 22 kasus. Totalnya mencapai 211 kasus dalam kurun waktu 2011-2016. "Kasus paling besar gaji tidak dibayar, PHK sepihak, dan overcharging," ujar dia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.