Sukses

Tolak FCTC, Petani Cengkeh Minta Perlindungan Pemerintah

Penolakan FCTC merupakan salah satu hasil rapat kerja nasional (Rakernas) II petani beberapa waktu lalu di Sulawesi Utara.

Liputan6.com, Jakarta Petani cengkeh dan tembakau meminta perlindungan dari pemerintah, dengan tidak mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Mereka khawatir aksesi FCTC akan berdampak ke kehidupan petani cengkeh, tembakau dan yang lainnya.

“Jika Indonesia aksesi FCTC, maka negara secara tidak langsung telah mematikan 2 juta petani tembakau, 1,2 juta petani cengkeh, dan ratusan ribu bahkan jutaan orang yang baik langsung maupun tidak langsung terlibat di sektor pertembakauan,” ujar Ketua Himpunan Petani Cengkeh Yusak Horman dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (23/5/2017).

Dia menuturkan jika penolakan FCTC merupakan salah satu hasil rapat kerja nasional (Rakernas) II petani beberapa waktu lalu di Sulawesi Utara. Petani juga meminta pemerintah melindungi dan berpihak ke petani cengkeh dan tembakau serta industri kretek nasional.

Kretek dinilai merupakan hasil karya rakyat Indonesia. Berbicara tentang industri tembakau, tidak bisa dipisahkan dari industri kretek nasional. Demikian pula, berbicara tentang kretek juga tidak bisa dipisahkan dari proses panjang sejarah hingga saat ini. Kretek berbeda dengan rokok putih.

"Kretek menjadi bukti kekayaan produk budaya (heritage) Indonesia. Kretek menggunakan tembakau local, cengkeh, klembak, menyan, dan merupakan produk asli Indonesia," ungkap dia.

Sebab ini, petani cengkeh dan pemangku kepentingan terkait berharap perlindungan pemerintah, salah satunya tidak mengaksesi FCTC. Hal ini sejalan dengan sikap Presiden Jokowi beberapa waktu lalu yang tidak ingin tergesa-gesa mengaksesi FCTC demi kepentingan nasional.

“Sikap negarawan Presiden Jokowi inilah yang seharusnya menjadi tauladan bagi para pemangku kepentingan demi mewujudkan kemandirian ekonomi nasional sebagaimana visi Nawacita,” pungkas Yusak.

Sebelumnya petani tembakau juga meminta pemerintah membatasi impor tembakau. Pembatasan impor tembakau tersebut juga bisa memperkokoh neraca pembayaran.

"Pemerintah harus segera mengambil langkah nyata guna melindungi tembakau lokal, seperti pembatasan impor serta pengenaan bea masuk yang lebih tinggi," kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji.

Agus menuturkan, selama ini bea impor yang dikenakan baru sebesar lima persen. Angka tersebut terbilang rendah dan menurutnya, angka ideal bea impor pada kisaran 40 persen.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.