Sukses

Soal Facebook, Menkeu Tegaskan Dapat Uang di RI Harus Bayar Pajak

Pasca menagih utang pajak Google terhadap Indonesia, kini giliran pajak perusahaan over the top (OTT) lain, seperti Facebook dan Twitter yan

Liputan6.com, Jakarta Pasca menagih utang pajak Google terhadap Indonesia, kini giliran pajak perusahaan over the top (OTT) lain, seperti Facebook dan Twitter yang menjadi incaran. Pasalnya perusahaan-perusahaan internet atau teknologi itu berbisnis dan memperoleh penghasilan di Indonesia, sehingga memiliki kewajiban membayar pajak.

Hal itu diakui Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati saat berbincang dengan wartawan di kantornya, seperti ditulis Selasa (20/6/2017). "Pada prinsipnya, kalau ada operasi di sini yang menghasilkan penerimaan, dia menjadi objek pajak," tegasnya.

Tak pandang bulu, basis perusahaan ada di luar negeri atau di dalam negeri, karena bisnis yang dilakoni, seperti Facebook dan Twitter telah menghasilkan pundi-pundi penerimaan yang menjadi objek pajak wajib membayar pajak penghasilan badan.

"Subjeknya mau di luar negeri atau di dalam negeri, tidak jadi soal karena dia men-generate satu objek pajak baru. Kalau nanti kebijakan dari Menkominfo yang mengharuskan mereka jadi subjek pajak di Indonesia karena aktivitas di Indonesia, mereka jadi Bentuk Usaha Tetap (BUT)," jelas Sri Mulyani.

Selama ini, pemerintah mengaku banyak sekali perusahaan asing di Indonesia yang tidak pernah menyetor pajak dengan segala macam dalih, salah satunya tidak mendaftarkan diri sebagai BUT. Padahal perusahaan seperti Google, Yahoo, Facebook, dan Twitter memperoleh omzet dari jasa periklanan di Indonesia.

Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Ditjen Pajak Muhammad Haniv sebelumnya pernah mengungkapkan, perusahaan-perusahaan raksasa internet itu tidak memenuhi ketentuan membayar pajak, meski ada jenis pajak yang mereka bayarkan.

"Google, Facebook, Twitter dan Yahoo bayar pajak, tapi cuma PPh Pasal 21 dan 23 untuk orang lain, seperti karyawannya. Tapi untuk PPh Badan, tidak bayar sama sekali," tegas Haniv.

Terakhir, Haniv mengaku, Direktorat Jenderal Pajak terus mengejar utang pajak Facebook yang ditaksir senilai miliaran rupiah. Ditjen Pajak sudah meminta perusahaan raksasa asal Irlandia itu untuk menyerahkan transaksi keuangannya.

"Facebook dan Google yang kita incar sekarang karena banyak iklannya. Sementara iklan di Twitter sudah berkurang," katanya.

Dia menjelaskan, Ditjen Pajak meminta pihak Facebook atas data transaksi keuangannya dari orang pribadi yang mengiklankan produk maupun jasanya di Facebook. Pendapatan Facebook dari pengiklan orang pribadi inilah yang belum dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26.

PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri, selain BUT di Indonesia.

"Kita minta data ke Facebook walaupun pembayaran iklan dari orang pribadi ke mereka tidak begitu besar," jelas Haniv.

Lebih jauh Haniv melanjutkan, Facebook sudah memotong pendapatan yang diperoleh dari para pengiklan berbentuk badan usaha dengan menggunakan PPh Pasal 26 sebesar 20 persen. Pasalnya, Irlandia dan Indonesia tidak memiliki tax treaty, yaitu perjanjian perpajakan antara dua negara untuk mencegah pajak berganda.

"Jadi pembayaran iklan oleh konsumen di Indonesia sudah dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20 persen, sehingga kita tidak terlalu kehilangan besar (pajaknya). Misalnya Anda iklan di Facebook senilai Rp 2 miliar, mereka hanya menerika Rp 1,6 miliar, dan yang Rp 400 juta masuk ke negara," dia menerangkan.

Akan tetapi, dia menambahkan, pajak atas hasil pendapatan iklan dari orang pribadi belum dipotong dengan PPh Pasal 26, sehingga inilah yang menjadi target utama penagihan Ditjen Pajak. "Nilainya ratusan miliar lah (utang pajak). Ini yang mau kita tagih," tegas Haniv.

Saat ini, Haniv mengatakan, Facebook masih dalam pemeriksaan Ditjen Pajak. "Facebook pemeriksaan biasa karena mereka tidak melawan. Kalau kita suratin Facebook ke Irlandia pun, ada yang datang ke sini karena punya konsultan di sini tapi. Mereka bilang tidak memiliki BUT di Indonesia, apalagi alamatnya tidak ada di sini," tandas Haniv.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.