Sukses

Sri Mulyani dan Bos BI Awasi Utang Luar Negeri Swasta

Dalam laporan Panja Belanja Pemerintah Pusat, ada catatan penambahan poin pemerintah wajib menjaga akuntabilitas terhadap pengelolaan utang

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) akan terus memantau pergerakan utang luar negeri (ULN) swasta supaya tidak menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Pasalnya, pemerintah ogah jika harus menanggung ULN swasta.

Hal itu disampaikan Sri Mulyani saat Rapat Kerja Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018 dengan Badan Anggaran DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/7/2017).

Dalam laporan Panja Belanja Pemerintah Pusat, ada catatan penambahan poin pemerintah wajib menjaga akuntabilitas terhadap pengelolaan utang swasta. Namun setelah melalui pembahasan panjang, keputusan terhadap poin itu berubah menjadi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diminta memantau terus menerus exposure ULN swasta, termasuk BUMN agar perekonomian dapat dimonitor.

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah selalu mendorong penciptaan ekonomi yang sehat, termasuk dalam pengelolaan utang, khususnya utang pemerintah. Sementara utang swasta, lanjutnya, merupakan risiko yang harus ditanggung korporasi atau perusahaan itu sendiri.

"Swasta kan dapat keuntungan dan dinikmati swasta itu sendiri, nah risiko berutang pun harus ditanggungnya. Kalau kita yang harus menanggung utang swasta, sementara kita tidak menikmati profitnya, maka itu terjadi suatu asimatri yang besar sekali," tegas Sri Mulyani.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur BI, Agus Martowardojo mengaku, BI selaku otoritas moneter telah menerbitkan aturan Nomor 16/21/PBI/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.

"Aturan ini berlaku bagi korporasi nonbank. Jadi apabila swasta mau pinjam uang dari luar negeri perlu mematuhi prinsip kehati-hatian. Prinsip itu meliputi tiga aspek," tegasnya.

Ketiga aspek tersebut, pertama, penyesuaian terhadap cakupan komponen aset dan kewajiban valas. Kedua, penyesuaian terhadap ketentuan pemenuhan kewajiban lindung nilai. Ketiga, penyesuaian terhadap ketentuan pemenuhan kewajiban peringkat utang.

"Kita sudah terapkan ini sejak 2015, dan tingkat kepatuhan mereka baik. Perusahaan melaporkan laporan keuangan audited, dan menjelaskan tentang kepatuhan atas aturan itu. Kita tidak ingin menghendaki utang Indonesia mendadak jadi besar dan menciptakan risiko terhadap perekonomian kita," tukas Agus.

Untuk diketahui, ULN Indonesia pada akhir kuartal I-2017 berada pada posisi US$ 326,3 miliar, tumbuh terkendali sebesar 2,9 persen (yoy). Jumlah ini meningkat dibanding kuartal yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 2,0 persen (yoy).

Berdasarkan kelompok peminjam, peningkatan ULN tersebut dipengaruhi oleh lebih kecilnya kontraksi pertumbuhan ULN swasta pada kuartal I-2017, yaitu sebesar -3,6 persen (yoy) dibanding kuartal sebelumnya yang sebesar -5,5 persen (yoy).

Sementara itu, ULN sektor publik tumbuh melambat dari 11 persen (yoy) pada kuartal sebelumnya menjadi 10 persen (yoy). Pada akhir kuartal I-2017, posisi ULN sektor publik tercatat sebesar US$ 166,5 miliar (51,0 persen dari total ULN), sementara posisi ULN sektor swasta tercatat sebesar US$ 159,9 miliar (49,0 persen dari total ULN).

Dengan perkembangan tersebut, rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal I-2017 tercatat relatif stabil di kisaran 34 persen, sebagaimana pada akhir kuartal I-2016, namun menurun jika dibandingkan dengan kuartal I-2016 yang sebesar 37 persen.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini