Sukses

Rasio Utang RI Masih Terkendali Ketimbang Malaysia

Rasio utang Indonesia sekitar 28 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan Malaysia sekitar 40-50 persen dari PDB.

Liputan6.com, Jakarta - Utang pemerintah sudah menembus angka Rp 3.672 triliun hingga Mei 2017. Dengan posisi utang tersebut yang mencatat rasio sekitar 28 persen, pemerintah mengusulkan penambahan utang Rp 42,3 triliun sampai Rp 76,6 triliun di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan, APBN Indonesia saat ini masih mencatatkan defisit fiskal karena belanja negara lebih tinggi dibanding pendapatan negara.

"Pengeluaran disetel untuk mendorong belanja lebih tinggi karena kita membangun infrastruktur, dan meningkatkan perlindungan sosial sehingga kita menjalankan APBN yang sifatnya defisit. Defisit dibiayai oleh pembiayaan, yang salah satunya berasal dari utang," ujar Suahasil di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/7/2017).

Dalam pelaksanaannya, Suahasil mengakui, pemerintah saat menerbitkan Surat Utang Berharga (SBN) atau melakukan pinjaman dilakukan dengan cara seksama dan hati-hati. Pemerintah akan mengatur sedemikian rupa sehingga tidak terlampau besar.

"Makanya kita jaga rasio utang di level sekarang 28 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio ini masih cukup jauh di bawah ketentuan Undang-undang Keuangan Negara sebesar 60 persen terhadap PDB," ia menjelaskan.

Suahasil menambahkan, dibanding negara lain pun, rasio utang pemerintah Indonesia tercatat rendah, seperti dibanding Malaysia dan Thailand yang di kisaran 40 persen-50 persen, Jepang yang rasio utangnya mencapai 200 persen, dan Amerika Serikat 100 persen dari PDB.

"Jadi kalau lihat rasio utang pemerintah Indonesia 28 persen masih sangat aman dan bisa dikendalikan. Apalagi PDB kita tumbuh, diperkirakan 5,2 persen di 2017. Sehingga berharap utang itu makin bisa kredibel," ujar dia.

Ia memastikan utang yang ditarik pemerintah melalui penerbitan SBN maupun pinjaman, digunakan untuk kegiatan produktif, seperti membangun infrastruktur, meningkatkan perlindungan sosial, dan lainnya.

"Kalau dipakai buat infrastruktur, nanti ada pengembalian dari infrastruktur itu, yang akan membuat utang jadi sustainable, bisa dibayar. Masyarakat bisa tumbuh, pendapatan naik, PDB tumbuh, sehingga ada penerimaan pemerintah, dan penerimaan ini dipakai buat bayar utang," Suahasil menuturkan.

Terkait utang yang disebut-sebut untuk membayar utang atau bunga utang, Suahasil mengaku pengelolaan utang oleh pemerintah masih harus terus diperbaiki.

"Jumlah utang yang diambil memang pertumbuhannya agak cepat, jadi mesti dijaga sebaik mungkin supaya kredibilitas di mata investor tetap terjaga. Kita tarik utang, kita masih bisa bayar dan dikendalikan di rasio 28 persen dari PDB," ujar Suahasil.

Dikutip dari data Kementerian Keuangan, Jakarta, dengan proyeksi pendapatan negara sebesar Rp 1.714,1 triliun dan belanja negara mencapai Rp 2.111,4 triliun atau lebih tinggi, akan ada defisit fiskal sebesar Rp 397,2 triliun atau 2,92 persen dari PDB di RAPBN-P 2017.

Defisit tersebut meningkat dibanding APBN Induk 2017 yang sebelumnya dipatok Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen terhadap PDB. Itu artinya kenaikan nilai defisit fiskal sebesar Rp 67 triliun di RAPBN-P 2017.

Sementara dalam outlook-nya atau skenario lain, pemerintah memprediksi defisit anggaran hingga akhir tahun ini sebesar Rp 362,9 triliun atau 2,67 persen terhadap PDB.

Proyeksi tersebut berasal dari outlook penerimaan negara Rp 1.714,1 triliun dan belanja negara Rp 2.077 triliun. Jika merujuk pada prediksi dalam outlook, maka defisit fiskal melebar dengan nilai Rp 32,7 triliun.

 

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.