Sukses

Ekonomi RI Itu Stabil, Melambat atau Naik Tipis?

Pemerintah terus berupaya mendorong investasi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi pada 2017 ini.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2017. Dalam laporan tersebut, ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 persen, cukup tinggi mengingat kondisi ekonomi global yang belum begitu bagus.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, ekonomi beberapa mitra dagang ‎Indonesia pada umumnya membaik sehingga mampu mendorong angka pertumbuhan ekonomi nasional. Ia mencontohkan, pertumbuhan ekonomi China menguat dari 6,7 persen di kuartal II 2016 menjadi 6,9 persen di kuartal II 2017.

“Ekonomi Amerika Serikat (AS) juga menguat dari 1,2 persen menjadi 2,1 persen. Sedangkan Singapura menguat dari 1,9 persen menjadi 2,5 persen," jelas Suhariyanto pada Senin kemarin.

Selain itu, realisasi belanja pemerintah (APBN) kuartal II 2017 mencapai Rp 493,29 triliun atau 23,71 persen dari pagu 2017 sebesar Rp 2.080,5 triliun. Angka tersebut naik dibanding realisasi kuartal II 2016 mencapai Rp 475,89 triliun atau 22,85 persen dari pagu 2016 sebesar Rp 2.082,9 triliun.

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta menilai, dengan angka-angka realisasi tersebut, bisa dikatakan bahwa kinerja ekonomi Indonesia sangat stabil. Bahkan terbuka jalan untuk terus ditingkatkan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution merinci, jika dari sumber pertumbuhan ekonomi, investasi tumbuh sangat signifikan. Pertumbuhan investasi tersebut mampu mengompensasi pertumbuhan ekspor impor yang agak menurun.

Dari sisi konsumsi rumah tangga pun juga tercatat tumbuh 4,95 persen atau sedikit lebih baik dibanding kuartal I-2017, tetapi memang lebih rendah dibanding kuartal II-2016.

"Tapi 4,95 persen walaupun normalnya 5 persen atau sedikit di atas itu, tidak mengonfirmasi terjadi pelemahan," ujar mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penurunan daya beli

Sebelumnya beberapa pihak menyebutkan bahwa terjadi pelemahan daya beli nasional. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, kelesuan penjualan ritel sudah terjadi sejak 2,5 tahun lalu.

"Kondisi ritel saat ini sudah 2,5 tahun underperformance. Situasi itu yang membuat setiap peritel di Indonesia dalam kondisi terpuruk," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com. Bahkan menurut Roy, setidaknya hampir 50 gerai ritel modern yang telah ditutup. Penutupan ini khususnya dilakukan di daerah-daerah yang jumlah penduduk dan sosial ekonomi rendah.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mengeluhkan adanya penurunan daya beli masyarakat. Pemerintah diminta mengambil kebijakan tepat guna memacu pertumbuhan ekonomi yang sehat, sehingga dapat meningkatkan kembali daya beli masyarakat secara merata.

"Daya beli sekarang benar-benar nge-drop. Ini sudah warning banget," tegas Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani saat dihubungi Liputan6.com. Pelemahan daya beli tersebut ditunjukkan dengan penurunan penjualan sepeda motor dan mobil, penjualan ritel, dan industri lainnya.

Sebagai contoh, penjualan kendaraan roda empat Juni 2017 mengalami penurunan cukup signifikan bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Penjualan mobil pada Juni 2017 anjlok 29,5 persen, atau hanya terjual 66.370 unit jika dibandingkan dengan Mei 2017 yang mencapai 94.091 unit. Jika dibandingkan dengan penjualan Juni tahun lalu masih kalah jauh yakni mencapai 91.488 unit.

3 dari 4 halaman

Pergeseran

Namun pelemahan daya beli tersebut ditampik oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro. Menurutnya, terjadi perubahan tren belanja masyarakat saat ini sudah berubah dari konvensional ke online. Hal ini menunjukkan transaksi penjualan tetap ada, sehingga daya beli masih terjaga.

"Konsumsi kita banyak dipengaruhi online. Itu artinya, transaksi tetap jalan. Cuma mungkin data statistik dan pajak tidak bisa mereka itu (transaksi online)," jelas Bambang.

Pemerintah, kata Bambang, terus mendorong dengan berbagai macam kebijakan untuk mempermudah perizinan dan menjaga konsumsi masyarakat. "Daya beli bukan normal, tapi kita harus tetap menjaga supaya konsumsi tetap kuat," ujar Mantan Menteri Keuangan itu.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menambahi, penurunan penjualan di banyak sektor bukan hanya disebabkan oleh melemahnya daya beli, apalagi oleh golongan berpendapatan bawah yang memang daya belinya lemah.

Menurut dia, penyebab utamanya yaitu lantaran golongan kelas menengah menahan belanjanya (delayed purchase). Buktinya, jika dilihat dari data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan selama sembilan bulan terakhir justru meningkat.

"Namun, peningkatan DPK ini terjadi pada simpanan jangka panjang (deposito) dan giro. Sebaliknya, DPK dalam bentuk tabungan jangka pendek melambat. Artinya, mereka yang menyimpan uang bank cenderung untuk semakin membatasi belanjanya dalam waktu dekat," ujar dia.

4 dari 4 halaman

Genjot lebih tinggi

Darmin menjelaskan, meskipun stabil, pemerintah belum puas dengan angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Pemerintah berupaya mendorong investasi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Hal itulah yang menurut dia paling memungkinkan. Konsumsi pemerintah diharapkan terpacu di kuartal III dan IV, sehingga pertumbuhannya kembali positif.

"Investasi kita akan dorong di atas 5,8 persen. Caranya menyiapkan paket kebijakan ekonomi jilid 16. Itu paket besar yang menyangkut semua kementerian/lembaga, pemda, konsumsi, dan investasi. Kita akan launching minggu depan karena fokusnya mau mempercepat pelaksanaan investasi menjawab keluhan deregulasi masih banyak di lapangan," ujarnya.

Ekonom Universitas Indonesia Firmansyah melanjutkan, cara lain mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi masyarakat. Salah satu cara mendorong daya beli masyarakat adalah dengan kembali memberikan subsidi dalam bentuk riil seperti gas listrik dan lainnya. 

Selama ini subsidi tersebut memang dikurangi dan dananya dialihkan ke pembangunan infrastruktur. "Dana infrastruktur sebenarnya bisa didapat dari pos lain seperti meningkatkan pendapatan negara dari pajak dengan mengoptimalkan hasil dari tax amnesty atau mengoptimalkan pajak dari e-commerce," jelas dia. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.