Sukses

Mau Jadi Penulis, Ini Pajak yang Harus Dibayar ke Negara

Penghasilan netto dapat dihitung menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN).

Liputan6.com, Jakarta - Tere Liye mengungkapkan kegundahan nasib penulis atas tingginya pengenaan pajak royalti hingga memutuskan untuk berhenti menerbitkan 28 judul bukunya. Keluhan ini membuat Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati terhenyak dan menjelaskan perhitungan pajak bagi penulis dalam akun media sosialnya.

Sebenarnya bagaimana perhitungan pajak bagi profesi penulis maupun pengarang buku di Indonesia?

Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan, Yunirwasyah mengungkapkan, pemerintah memungut Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) maupun Badan kepada seluruh Wajib Pajak (WP) baik karyawan, artis, pekerja seni, dan profesi lainnya.

"Bukan cuma mengumpulkan pajak, tapi kan kita perhatikan bagaimana cara mengenakan pajaknya. Yang umum dikenakan sesuai Pasal 17 Undang-Undang (UU) PPh. Ini juga berlaku buat pekerja seni atau pekerja kreatif," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (12/9/2017).

Berdasarkan Pasal 17 UU PPh, tarif PPh yang digunakan untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:

(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:

a. WP OP Dalam Negeri menerapkan 4 layer atau lapisan penghasilan kena pajak, antara lain:

- Sampai dengan Rp 50 juta kena tarif pajak 5 persen
- di atas Rp 50 juta sampai Rp 250 juta kena tarif 15 persen
- di atas Rp 250 juta sampai Rp 500 juta kena tarif 25 persen
- di atas Rp 500 juta sebesar 30 persen

b. WP Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebesar 28 persen

(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25 persen yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25 persen yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

Yunirwansyah menjelaskan, perlakukan pajak bagi penulis terbagi dua, yakni dapat melakukan pembukuan dan pencatatan.

Ia lebih jauh menerangkan, penghasilan netto = penghasilan bruto - biaya-biaya (atas penghasilan). Dari penghasilan netto itu, dikenakan tarif sesuai lapisan penghasilan kena pajak.

Selanjutnya, sambung dia, kalau seandainya tidak mampu menyelenggarakan pembukuan, dalam Pasal 14 UU PPh memberikan kesempatan untuk melakukan pencatatan dengan syarat penghasilan setahun kurang dari Rp 4,8 miliar.

"Tapi syaratnya harus memberitahukannya ke Ditjen Pajak tiga bulan di tahun berjalan. Misalnya untuk tahun ini, batasnya sampai dengan Maret 2017. Beritahukan ke Kepala Kantor Ditjen Pajak, saya tidak menyelenggarakan pembukuan, tapi pencatatan," paparnya.

Dalam pelaporan administrasi pajak menggunakan pencatatan, Yunirwasnyah bilang, penghasilan netto dapat dihitung menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN). Norma ini disusun supaya memudahkan WP dalam pencatatan administrasi pajak, sehingga ke depan WP dapat menggunakan mekanisme pembukuan.

Sebagai contoh, apabila penghasilan brutonya Rp 100 dikali norma 40 persen, maka penghasilan nettonya Rp 40. Itulah yang dikalikan tarif PPh sesuai lapisan penghasilan kena pajak setelah dikurangi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp 54 juta.

"Nah, norma untuk pengarang dan penulis buku menurut Peraturan Dirjen Pajak sebesar 50 persen. Itu macam-macam normanya, ada untuk dokter, pengacara, dan lainnya," Yunirwansyah menjelaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Contoh

Dengan pajak royalti 15 persen yang dapat dikreditkan atau sebagai pengurang pajak, perhitungan pajak bagi penulis maupun pengarang apabila menggunakan pencatatan dengan norma, dapat digambarkan sebagai berikut:

Tere Liye misalnya mendapat royalti setiap bulan atau setiap tiga bulan atas penjualan buku oleh Gramedia sebesar 100. Royalti Rp 100 itu dikenakan pajak 15 persen yang dipotong oleh Gramedia, berarti ia mendapatkan 85.

"Tapi nanti saat lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tetap mencantumkan 100. Lalu dikalikan norma 50 persen, berarti penghasilan nettonya 50. Nah, 50 ini dikurangi dengan batas PTKP (lajang atau menikah), kemudian hasilnya baru dikenakan tarif pajak sesuai lapisan penghasilan kena pajak," terang Yunirwansyah.

"Contohnya 50 kali 5 persen, maka hasilnya 12,5. Itulah kewajiban pajak sebagai WP OP. Tapi kan tadi sudah bayar pajak royalti di awal 15 persen, jadi jika pajak terutangnya 12,5; lalu sudah bayar 15, maka ada lebih bayar 2,5 yang bisa direstitusi. Artinya, WP bisa minta ke KPP untuk dibalikin lagi," tuturnya.

"Namun sebaliknya, kalau pajak terutangnya lebih besar dari 15 persen (pajak royalti), contohnya 25. Maka 25 dikurangi 15, berarti WP kurang bayar 10 persen yang harus disetor sendiri ke KPP terdaftar," Yunirwansyah menggambarkan.

Jika laporan administrasi pajak menggunakan pembukuan, dia mengatakan, tidak ada perlakuan norma. Contohnya, WP tetap melaporkan penghasilan 100 dikurangi biaya langsung maupun tidak langsung terkait penulisan buku, seperti riset, dan lainnya disertai bukti tertulis.

"Misalnya, 100 tadi dikurangi biaya-biaya misalnya 50, maka hasilnya 50 penghasilan kena pajaknya. Itu jadi kurang bayar, dan pajak royalti 15 persen tetap diperhitungkan, karena kan itu pembayaran pendahuluan, harusnya bayar sendiri tapi dipotong pihak ketiga," ujar Yunirwansyah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.