Sukses

Impor Pangan Lemahkan Daya Saing Petani Lokal

Liputan6.com, Jakarta - Sektor pertanian yang merupakan mayoritas kegiatan perekonomian masyarakat di sebagian besar Pulau Jawa yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan daerah. Dampaknya, daya beli petani menjadi lemah.

‎Peneliti ReIde Indonesia Riyanda Barmawi ‎menyatakan, padahal peningkatan kesejahteraan petani sangat berkorelasi dengan pertumbuhan sektor perekonomian lain dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, pemberlakuan impor pangan yang dijalankan selama satu dasawarsa disebut melemahkan petani.

"Kendala pembangunan pertanian datang dari kebijakan pemerintah itu sendiri, yaitu impor pangan. Walaupun Indonesia mampu mewujudkan swasembada pangan pada 1984, tetapi pasca itu swasembada tidak terjadi," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (22/9/2017).

Dia menyatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2017, Indonesia masih mengimpor berbagai komoditas. Antara lain, beras, tepung terigu, gula pasir, daging jenis lembu, garam, mentega, minyak goreng, bawang putih, lada, kentang, cabe kering, dan telur ungas.

"Sebagai gambaran, dari 2010-2013, kegiatan impor beras terus tumbuh 482,6 persen. Berikutnya, impor kedelai naik berturut-turut 57 persen. Peningkatan impor bawang merah dan cabai merah masing-masing 99,8 persen dan 141 persen," kata dia.

Menurut dia, rezim perdagangan World Trade Organization (WTO) yang berlaku sekarang ini membuat sebuah negara sulit menerapkan persyaratan ketat terhadap produk impor. Oleh karena itu, pemerintah harus memberlakukan standar sama antara produk pangan impor dan lokal. Jika tidak, negara lain bisa menggugat lewat forum WTO.

Supaya produk pangan lokal dapat terlindungi, lanjut Riyandi, pemerintah dapat memaksimalkan Otoritas Kompetensi Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) sebagai kepanjangan tangan Otoritas Kompetensi Keamanan Pangan Pusat (OKKPP). Lembaga ini menerbitkan sertifikasi prima yang terdiri dari sertifikasi prima 1, prima 2 dan prima 3. Program ini bersifat sukarela yang berjalan mulai 2009.

"Semestinya, kelompok petani memanfaatkan sertifikasi ini untuk meningkatkan nilai jual produknya. Hingga tahun ini, baru 39 produk pangan dan hortikultura memperoleh sertifikasi," ujar dia.

Ia menambahkan, sertifikasi ini dapat dipakai untuk melindungi hasil pertanian lokal dari produk impor. Caranya, setiap produk pangan dan hortikultura dari negara lain wajib memiliki sertifikat prima untuk diterima pasar domestik.

"Sektor pertanian Indonesia dapat diperkuat, asalkan memperkuat rantai hulu dan hilir. Langkah ini sangat penting guna mewujudkan nilai tambah dan daya saing," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.