Sukses

Tak Hanya RI, Taksi Konvensional AS Juga Terpukul Layanan Online

Selain Medallion, perusahaan taksi lain yaitu Barwood yang beroperasi di Montgomery Amerika Serikat meminta perlindungan dari kebangkrutan.

Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran taksi berbasis online juga tak hanya memukul keberadaan taksi konvensional di Indonesia, sejumlah kota di negara bagian di Amerika Serikat (AS) juga mengalami fenomena yang sama. Mereka mengeluh. Bisnis mereka mati karena hadirnya Uber, salah satu penyedia taksi berbasis online.

Fenomenanya tak jauh berbeda. Semua disebabkan karena taksi konvensional tak siap menghadapi tantangan di era digitalisasi.

Pertengahan tahun ini diberitakan, ratusan taksi Medallion di Chicago, harus disita di 2017. Serikat sopir taksi tersebut menyatakan bahwa itu belum seberapa, karena diperkirakan masih akan ada ribuan lagi sopir yang harus rela kehilangan pekerjaan. Semua itu disebabkan tak kuatnya mereka bersaing dengan penyedia layanan taksi online seperti Uber dan Lyft.

Persatuan sopir taksi setempat melaporkan bahwa ada 774 taksi Medallions disita karena si empunya tak sanggup lagi membayar pajak dan biaya izin operasi taksi-taksi tersebut. "Masih ada ribuan yang akan disita," Tracey Abman, direktur dari organisasi tersebut.

Berdasarkan data dan wawancara para sopir taksi tersebut, laporan mengerucut pada satu hal. Pendapatan mereka turun dan industri mulai melesu karena persaingan dengan perusahaan Uber dan Lyft.

Laporan juga menunjukkan fakta seperti jumlah angkutan pada Januari 2017 hanya 1,1 juta. Turun 52 persen dibanding dengan jumlah pada 2014 lalu sebanyak 2,29 juta.

Warga yang memiliki dan mengoperasikan taksi tersebut menghabiskan sekitar US$ 44 ribu per tahun untuk pengeluaran seperti pinjaman, biaya perkitaan dan bahan bakar. Di 2013, pendapatan sopir rata-rata US$ 19 ribu, turun US$ 4.000 di 2016.

Selain Medallion, perusahaan taksi lain yaitu Barwood yang beroperasi di Montgomery Amerika Serikat meminta perlindungan dari kebangkrutan pada akhir 2016 lalu. Alasannya sama, karena persaingan dengan Uber dan Lyft.

Dalam laporan permintaan perlindungan kebangkrutan tersebut, perusahaan menyatakan bahwa mereka mengoperasikan 457 armada, yang menjadikan Barwood sebagai operator taksi terbesar di Montgomery.

"Barwood mencatat mereka punya pendapatan sekitar US$ 7,1 juta di 2015 dan sekitar US$ 3,3 juta selama 7,5 bulan di 2016. Selain itu ada aset senilai SU$ 4,5 juta dan utang senilai US$ 5,4 juta," kata laporan tersebut dilansir dari media lokal, Bethesda Magazine pada Desember lalu.

"Kita akan reorganisasi, restrukturisasi dan tetap menjalankan bisnis ini," ujar Lisa Merdoc, Corporate Communications Barwood.

Barwood dengan tegas mengatakan ini terjadi karena hadirnya Uber dan Lyft. Dalam laporannya, perusahaan ini juga menyalahkan pemerintah daerah telah gagal mengatur keberadaan Uber dan Lyft serta transportasi semacamnya.

"Transportasi online kini menikmati skema peraturan yang mendukung mereka dan menghukum layanan taksi tradisional," bunyi laporan mereka.

Selain itu, fenomena ini juga terjadi di wilayah lain di Amerika Serikat seperti di Los Angeles dan San Fransisco. Perusahaan taksi terbesar di San Fransisco meminta perlindungan dari kebangkrutan di awal tahun 2016 lalu.

Protes terhadap kehadiran transportasi online juga terjadi di Eropa. Baru-baru ini, 1.200 sopir taksi konvensional di Praha protes terhadap kehadiran Uber. Mereka memblokir akses jalan utama dari dan menuju bandara Praha pada Senin kemarin.

Sopir taksi itu menilai praktik operasi Uber tidak adil dan tidak berdasar hukum, seperti dilansir dari media lokal Praha, Praguemonitor.

Hal yang sama juga terjadi di Kroasia juga London. Negara di Asia Tenggara yang menolak keras kehadiran transportasi online selain Indonesia adalah Malaysia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.