Sukses

Pemprov Lampung Pikir-Pikir Terbitkan Surat Utang Daerah

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung akan berhati-hati untuk cari pembiayaan khususnya terkait penerbitan surat utang atau obligasi daerah.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung akan berhati-hati dalam mencari pembiayaan khususnya terkait penerbitan surat utang atau obligasi daerah untuk pembangunan. Lantaran hal itu terkait dengan politik anggaran.

Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo menerangkan, Pemprov Lampung akan menghitung risiko terkait penerbitan surat utang tersebut.

"Saya melihat satu hal menarik tapi juga kami harus menghitung risikonya. Risikonya bukan hanya Pemprov tapi kabupaten kota. Karena kebijakan fiskal terkait politik anggaran," kata dia di Kantor Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Senin (9/10/2017).

Ridho menerangkan, setiap warga negara hanya boleh menjabat sebagai kepala daerah maksimal 2 periode. Dia menuturkan, untuk mendapat pembiayaan maka pemerintah daerah akan berhati-hati supaya nantinya tidak terbebani utang.

"Memang setiap warga negara dibatasi hanya menjabat kepala daerah maksimal 2 periode. Tapi jangan sampai dalam kebijakan 2 periode itu habiskan Rp 3 triliun-4 triliun. Itu juga bahaya. Ini yang harus dijaga sama-sama," jelas dia.

Jika tidak hati-hati, Ia menambahkan, akan berisiko pada kepala daerah selanjutnya. Lantaran, kepala daerahnya selanjutnya hanya akan menanggung utang tanpa pembangunan.

"Jangan sampai terus penggantinya selama 1-2 periode kerjaannya bayar utang, kemudian dicaci maki rakyat yang sebelumnya bangun ini itu, sekarang enggak ngapa-ngapain. Ini celaka," jelas dia.

Sementara itu, Ridho mengatakan telah melakukan rasionalisasi anggaran kabupaten kota. Hal tersebut sesuai dengan amanat dari Undang-undang 23 Tahun 2014.

"Dalam APBD kabuapten kota salah satu kejadian tahun lalu saya melakukan pembatalan sebagian dan itu tidak pernah terjadi di Indonesia. Karena saya melakukan rasionalisasi pemasukan, asumsi pendapatan suatu daerah, saya rasionalisasi hampir 100 persen," ujar dia.

"Pendapatan asli daerah (PAD) rata-rata Rp 400 miliaran di pasang Rp 700 miliaran. Saya melihat indikasi, seorang kepala daerah menjabat 2 periode, saya khawatir utang yang diwariskan bisa triliun. Jadi menghabiskan uangnya bisa 3 periode," sambung dia.

Ketua Umum ISEI Muliaman D Hadad mengatakan, penerbitan obligasi daerah telah melewati pembahasan yang panjang. Mantan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu menyebut, kendala penerbitan obligasi daerah ialah kapasitas dari daerah.

"Terkahir itu yang sempat saya ikuti bagaimana meyakini kapasitas terutama kapasitas di pemerintah daerah, karena utangnya jangka panjang," ujar dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

BI Dorong Pemda Terbitkan Obligasi

Bank Indonesia (BI) mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk menggunakan instrumen obligasi dalam pendanaan proyek-proyek strategis di daerahnya.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan dalam kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang terjaga saat ini bunga obligasi bisa lebih kompetitif dibanding perbankan.

"Ini akan memperdalam pasar keuangan kita, dan yang pasti saat ini obligasi yang kita berikan itu untuk jangka waktu tahun tertentu bisa 8-9 persen, tapi kalau di perbankan untuk jangka waktu sama saya rasa sulit untuk bisa di bawah 10 persen," kata Mirza di Surabaya, Jumat 25 November 2016.

Mirza mengakui, saat ini memang sudah ada beberapa BUMD yang mencari pendanaan dengan cara penerbitan obligasi di beberapa perbankan di Indonesia. Namun untuk pemerintah daerah, belum ada satupun yang melakukannya secara langsung.

Sebenarnya, dia mengaku, pemerintah provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat sudah mencoba mengajukan penerbitan obligasi tersebut sejak 2 tahun. Namun akibat persyaratan administrasi yang belum terpenuhi, rencana tersebut masih tertunda.

Memang, sesuai Undang-Undang (UU), pemerintah daerah diizinkan untuk memperoleh pendanaan melalui pasar obligasi. Namun jumlahnya dibatasi hanya 0,3 persen dari anggaran APBD. Meski begitu jika jumlah itu dimaksimalkan dinilai akan memperdalam pasar keuangan lebih signifikan.

Kendati, Mirza juga menekankan kepada pemda yang ingin menerbitkan obligasi untuk berani mengedepankan prinsip transparansi anggaran.

"Kalau sudah obligasi, harus siap transparan, karena pembeli obligasi itu masyarakat. Pasti nanti ditanya, bagaimana ke depan potensi pendapatan daerah, bagaimana 2 tahun ke depan, potensi DAU, dan lain sebagainya. Karena pemda sebagai issuer, masyarakat jadi pembeli, jadi mereka memastikan untuk terus dibayar," jelas Mirza.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini