Sukses

Pengusaha Keberatan Pajak E-Commerce, Ini Tanggapan Ditjen Pajak

Pemerintah janji menetapkan skema atau mekanisme tata cara pemungutan pajak yang mudah, sederhana, dan menekankan prinsip keadilan.

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berupaya mengejar penyelesaian aturan pajak bisnis online atau e-commerce paling cepat minggu ini. Penegasan tersebut menyusul keberatan yang diajukan pelaku usaha e-commerce dengan rencana aturan pajak ini, salah satunya Bos Bukalapak.

"Minggu ini mudah-mudahan skemanya disetujui Pak Dirjen (Pajak)," kata Direktur Peraturan Perpajakan I, Arif Yuniar, dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (13/10/2017).

Mengenai keberatan bos Bukalapak atas rencana aturan pajak bisnis online dengan alasan kesetaraan perlakuan bagi mereka yang berdagang di media sosial, Arif mengaku hal tersebut menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyusun regulasi ini.

"Hal itu (transaksi penjualan di media sosial) menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan regulasi pajak e-commerce," ujarnya.

Keberatan ini, diakui Arif, didiskusikan oleh pelaku usaha e-commerce dengan Direktorat Proses Bisnis Ditjen Pajak sebagai penyelenggara dalam pertemuan kemarin (12/10/2017) di kantor pusat Ditjen Pajak.

Dia meluruskan pernyataan Co-Founder dan CFO Bukalapak, M Fajrin Rasyid, yang menilai transaksi penjualan melalui media sosial, seperti Facebook dan Instagram, tidak terlacak oleh Ditjen Pajak, sehingga lolos dari kewajiban membayar pajak.

"Selama ini pedagang tersebut, selain di media sosial, juga jualan lewat outlet. Tentunya sudah terlacak dan pasti memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)," jelas Arif.

Arif berjanji, pemerintah akan menetapkan skema atau mekanisme tata cara pemungutan pajak yang mudah, sederhana, dan menekankan prinsip keadilan dalam aturan pajak e-commerce ini.

"Mekanismenya tentu dengan pertimbangan mudah, sederhana, dan fairness. Ini masih terus dibahas sebelum ke Dirjen dan Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani)," tegasnya.

Tonton Video Pilihan Ini:
 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Keberatan Pengusaha

Co-Founder dan CFO Bukalapak, M Fajrin Rasyid, pesimistis aturan pajak bisnis online bakal keluar dalam waktu dekat. Pasalnya, seluruh pelaku usaha e-commerce kompak mengajukan keberatan dengan alasan kesetaraan.

"Hari ini tim saya lagi di kantor Ditjen Pajak untuk membicarakan aturan itu. Mungkin akan diundur karena banyak yang keberatan dengan alasan kesetaraan atau equal treatment. Ini sudah disampaikan oleh saya dan hampir semua pelaku e-commerce pendapatnya sama," ujar Fajrin di JIExpo Kemayoran, Kamis (12/10/2017).

Dia menilai, penjualan paling besar bukan melalui platform e-commerce, melainkan berdagang di sosial media (socmed), seperti Facebook dan Instagram. Penjualan melalui socmed ini dianggap mengancam pelaku bisnis online.

"Jualan paling besar bukan di Bukalapak dan e-commerce lain, tapi jualan di Instagram dan Facebook. Sayangnya transaksi jualan di socmed tidak terjangkau oleh aturan pajak, sehingga ini yang dikhawatirkan pemain dan asosiasi e-commerce. Itu bisa mengancam," jelasnya.

Lebih jauh kata Fajrin, jika aturan pajak diterapkan pada bisnis online dan terlalu mengekang gerak e-commerce, akan membuat orang lebih memilih berjualan di Instagram dan Facebook ketimbang platfom e-commerce.

"Kalau aturan pajak mengekang platform e-commerce, jualan di Bukalapak ribet pajak, orang-orang jadi eksodus. Mending jualan di Instagram dan Facebook saja yang tidak terkontrol dan tidak terkejar pajaknya karena transaksi melalui jalan belakang," ujarnya.

Dia berpendapat, bukan hanya pelaku usaha e-commerce yang dirugikan, tapi juga pemerintah karena tidak ada setoran pajak dari transaksi jualan di socmed, grup chatting. "Jadi ada potensi ketidakadilan, tidak equal treatment karena transaksi belakang tadi merugikan pemerintah," Fajrin menerangkan.

Harapan Fajrin hanya satu, pemerintah harus betul-betul bijak dalam menerapkan aturan pajak bisnis online. Alasannya, tenant di Bukalapak terdiri atas berbagai macam kalangan, mulai dari individu, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), sampai badan usaha.

Selama ini, diakuinya, pelaporan pajak oleh tenant bersifat self assessment. Dia meyakini, banyak penjual di Bukalapak yang sudah menunaikan kewajibannya membayar pajak.

"Penjual kan macam-macam, ada perusahaan yang sudah PKP, ada UMKM dan individu yang baru mulai berjualan dengan omzet kecil. Jadi tidak bisa disamaratakan. Misalnya menyamaratakan semua penjual di Bukalapak harus langsung dipungut PPN, tidak mungkin. Karena UMKM yang omzet kecil kan tidak wajib PPN," ujanya.

"Jadi saya berharap kalaupun keluar aturan pajak ini, semoga benar-benar bijak-lah," harap Fajrin.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.