Sukses

Holding Turunkan Potensi Pendapatan Negara dari BUMN

Liputan6.com, Jakarta Rencana pemerintah membentuk induk perusahaan (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai perlu dipertimbangkan kembali. Sebab, pembentukan holding berpotensi menurunkan kontribusi BUMN terhadap pendapatan negara.

Ekonom Faisal Basri menyatakan saat jumlah BUMN semakin banyak, ini mendorong pembayaran pajak  yang bisa ditarik dari usaha perusahaan plat merah tersebut juga besar.

Sebaliknya, jika BUMN-BUMN tersebut masuk holding, meski skalanya besar namun potensi pajaknya semakin kecil.

"Semakin besar skala BUMN, maka akan semakin rendah pembayaran pajaknya. Ini tesis yang baru saja saya persiapkan,” ujar dia di Jakarta, Kamis (19/10/2017).

Selain itu, menurut Faisal, pemerintah kerap gemar memberikan penugasan kepada BUMN bahkan sebelum holding tersebut terbentuk. Jika holding sudah terbentuk, dikhawatirkan semakin banyak penugasan yang diberikan negara.

Dia mencontohkan, PT PLN (Persero) yang belum lama ini diberikan tugas untuk membangun transmisi jaringan listrik yang selama ini menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM.

Kemudian PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang ditugaskan, selain menjadi operator kereta light rail transit (LRT) juga menyuntik pendanaan LRT Jakarta yang membutuhkan dana Rp 21 triliun.

Menurut dia, perusahaan-perusahaan plat merah tersebut ditugaskan untuk investasi, padahal tidak memiliki uang.

“Hingga akhirnya mencari pinjaman yang membuat labanya turun semua. Belum lagi Pertamina diminta menjual harga BBM yang sama rata di Indonesia, atau PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang dipaksa menjual gas US$ 6 per MMBTU akhirnya harus menanggung penugasan itu dari kas sendiri. Implikasinya, pembayaran pajak dan dividennya makin kecil,” jelas dia.

‎Faisal juga menilai, holding BUMN berdasarkan sektor bisnis yang dijalankan tidak tepat karena hanya akan mempersempit ruang kompetisi bagi perusahaan-perusahaan swasta.

Bagi dia, suatu pemerintahan bisa disebut berhasil jika bisa memperbesar peran swasta dalam pembangunan dan bukan sebaliknya.

“Misal harga beras bisa stabil tanpa ada campur tangan pemerintah, itu artinya pemerintah sudah bisa membuat pilar persaingan bisnis yang sehat. Bukan dengan memperbesar BUMN melalui monopoli yang menciptakan kaidah bisnis yang tidak sehat. Negara ini kok malah menuju state capitalism seperti Uni Soviet tahun 1980-an?," tandas dia.

Tonton Video Pilihan Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.