Sukses

3 Tahun Jokowi-JK, Biaya Logistik Masih Termahal se-Asean

Pengusaha mengapresiasi langkah pemerintahan Jokowi-JK membangun infrastruktur. Namun, butuh waktu agar berdampak signifikan.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) mengebut pembangunan infrastruktur, mulai dari jalan tol, tol laut, pelabuhan, bandara, dan lainnya, sehingga dapat menekan biaya logistik. Sayangnya, usaha tersebut belum berdampak signifikan terhadap menurunnya biaya logistik di Indonesia.

Wakil Ketua Komite Tetap Pengembangan SDM Infrastruktur Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Dandung Sri Harninto, mengapresiasi kerja keras pemerintah untuk konektivitas di Tanah Air.

"Pak Jokowi sudah mencanangkan pembangunan infrastruktur dalam tiga tahun ini. Meski BUMN jadi leader, tapi kami di swasta tetap dapat kue yang cukup besar. Konektivitas di daerah semakin bagus, lapangan kerja yang terbangun semakin banyak, dan harapannya kesejahteraan masyarakat membaik," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat (20/10/2017).

Akan tetapi, menurut Dandung, perjalanan untuk mengatasi ketertinggalan melalui pembangunan infrastruktur masih cukup panjang. Saat ini, diperkirakan infrastruktur yang sudah terbangun baru 20-30 persen dari total kebutuhan aktivitas atau kegiatan bangsa ini.

"Jujur saja kami belum merasakan dampak dari pembangunan infrastruktur ke biaya logistik. Karena konektivitas belum full, masih putus-putus, Biaya logistik masih termahal di ASEAN, karena infrastruktur masih lemah," terangnya.

Dia mencontohkan, saat ini sudah ada tol yang menghubungkan Jakarta ke Brebes. Perjalanan lancar pada rute tersebut, tapi dari Brebes ke daerah lain masih mengalami kemacetan parah. Hal itu karena konektivitas ke pusat-pusat industri belum penuh.

Begitu pun dengan pengalamannya mengirim barang dari Tanjung Priok ke Balikpapan, kemudian nyambung ke Berau dengan infrastruktur yang super jelek. "Itu kan high cost semua, karena infrastruktur belum selesai terbangun, jadi biaya logistik masih seperti ini," tutur dia.

Lebih jauh Dandung menceritakan, pengiriman kontainer per 40 feat dari Jakarta ke Balikpapan lebih mahal ketimbang ke luar negeri. Dari rute Tanjung Priok, Jakarta ke Balikpapan, dia harus membayar Rp 30 juta per 40 feat kontainer dengan lama perjalanan tiga-empat hari.

Namun, bandingkan dengan mengirim barang dari Semarang ke Korea yang memakan waktu 10-11 hari. Dandung hanya membayar US$ 600 atau sekitar Rp 9 juta.

"Jadi sedemikian ekstremnya perbedaan biaya logistik yang harus saya tanggung. Itu karena biaya lokal logistik kita sangat tinggi," tegas Dandung.

Selain infrastruktur yang lemah, ia mengakui penyebab biaya logistik di Indonesia tinggi adalah masalah perizinan, proses di pelabuhan, dan masih banyaknya pungutan liar yang harus dibebankan ke biaya tersebut.

"Kirim barang dari Jakarta ke Surabaya harus berhadapan dengan oknum-oknum yang mungut pungli. Praktiknya masih ada lo, karena saya bayarnya tetap segitu. Perusahaan logistik pun bayar segitu, berarti kan ini ada something wrong," keluhnya.

Dandung berharap, dengan adanya tol Trans Jawa dalam dua-tiga tahun mendatang, biaya logistik akan berkurang. "Kalau tol Trans Jawa jadi semua, dua-tiga tahun lagi, ongkos logistik pasti bisa ditekan," ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemerintah Optimistis Turunkan Biaya Logistik

Sebelumnya Pemerintah optimistis biaya logistik di Indonesia bisa turun menjadi 19,2 persen dari produk domestik bruto (GDP). Saat ini biaya logistik di dalam negeri masih berkisar 24 persen dari GDP.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, penurunan biaya logistik di Indonesia ini akan didorong mulai masuknya kapal-kapal besar dari perusahaan pelayaran internasional ke Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan asal Prancis, Compagnie Maritime d'Affretement-Compagnie Generali Maritime (CMA-CGM).

"Saya pikir akan terjadi. Karena apa? Beberapa yang jadi indikasi CMA-CGM itu dan beberapa operator yang besar-besar sudah masuk ke Indonesia. Jadi, saya tanpa mengatakan angka-angka, dengan kapal-kapal yang besar itu datang, maka skala ekonomi yang terjadi di Indonesia makin baik," ujar dia di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa 10 Oktober 2017.

Selain penurunan biaya logistik, ujar Budi, dengan singgahnya kapal-kapal kargo raksasa, kinerja ekspor-impor Indonesia akan meningkat. Sebab, selama ini barang-barang yang diekspor dan diimpor Indonesia, tidak harus terlebih dulu singgah di negara lain seperti Singapura.

"Bahkan dengan adanya kapal-kapal besar itu secara tidak langsung menarik barang-barang yang selama ini ke negara lain ke Jakarta. Jadi, tanpa saya katakan turun naik berapa, dengan mereka datang dan sekarang ini intensif tiga kali sebulan, itu satu indikasi economic of scale dari Tanjung Priok sudah terjadi dan ini harus kita dorong. Dan kami tidak segan lakukan perbaikan-perbaikan di Priok," ujar dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasok, Rico Rustombi, mengatakan pemerintah perlu melakukan studi kelayakan yang terencana untuk mengurangi biaya logistik, sehingga masalah disparitas harga antar wilayah bisa diselesaikan.

Dengan demikian, ujar dia, target yang ingin pemerintah dalam menurunkan biaya logistik dari 24 persen menjadi 19,2 persen di 2019 bisa tercapai.

"Hal ini dapat dimulai dengan pembentukan sebuah kelompok kerja yang terdiri atas elemen pemerintah, akademikus, dan pelaku usaha. Sehingga implementasi proyek-proyek transportasi yang berimplikasi pada logistik dan supply chain dapat bersama-sama dikawal," ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.