Sukses

BPJS Kesehatan Defisit Rp 9 T, Sri Mulyani Kaji Kenaikan Iuran?

BPJS Kesehatan berpotensi mengalami defisit pendanaan (mismatch) untuk pembayaran klaim peserta sebesar Rp 9 triliun pada tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, tengah mengkaji sumber-sumber iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk menutup defisit perusahaan yang berpotensi mencapai Rp 9 triliun. Ini juga termasuk kontribusi dari pemerintah daerah (pemda).

"Kemenkeu sekarang mengkaji untuk melihat sumber-sumber kontribusi dari iuran agar lebih seimbang. Jadi, BPJS bisa mendapatkan jumlah masukan dari iuran yang bisa men-sustain dari jumlah kewajiban yang mereka harus bayar," kata Sri Mulyani di Jakarta, seperti ditulis Jumat (3/11/2017).

Lebih jauh dia menjelaskan, pemerintah sudah menghitung kebutuhan para peserta BPJS Kesehatan untuk menutup seluruh tanggungan yang harus dibayarkan.

Alasannya, jumlah kepesertaan BPJS semakin meningkat, terutama peserta di daerah.

"Jumlah kepesertaan meningkat banyak, terutama di daerah-daerah, tapi belum disertai kontribusi yang dibayarkan oleh pemerintah daerah," tuturnya.

"Karena itu, kita perlu menghitung berapa probabilitas mereka yang akan sakit dan menimbulkan dampak terhadap tanggungan," jelasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

BPJS Kesehatan Tekor Rp 9 Triliun

Sebelumnya, BPJS Kesehatan berpotensi mengalami defisit pendanaan (mismatch) untuk pembayaran klaim peserta sebesar Rp 9 triliun pada tahun ini. Hal tersebut salah satunya disebabkan kekurangan bayar iuran para pesertanya.

Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan B‎ayu Wahyudi menjelaskan, dari perhitungan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), terdapat selisih pembayaran iuran sebesar Rp 13 ribu per peserta. Sementara, jumlah peserta pada kategori tersebut mencapai 92,4 juta jiwa.

"Dari hasil perhitungan, PBI itu bayar Rp 23 ribu, harusnya dibayar Rp 36 ribu. Itu sudah selisih Rp 13 ribu. Bayangkan Rp 13 ribu dikali‎ 92,4 juta jiwa," ujar dia.

Selain itu, defisit tersebut juga disumbang oleh kekurangan bayar iuran peserta bukan penerima upah (PBPU). Selisih pembayaran iuran di kategori ini bahkan diperkirakan lebih besar lagi.

"Itu‎ dari selisih PBI, saja belum dari PBPU. Kelas I itu Rp 81 ribu per bulan, tetapi kelas II ini hanya Rp 51 ribu seharusnya (bayar) Rp 68 ribu, berarti selisih Rp 17 ribu. Kemudian kelas III yang seharusnya itu Rp 53 ribu hanya dibayar Rp 25.500," kata dia.

Bayu menuturkan, perhitungan mismatch ini bukan hanya berasal dari BPJS Kesehatan ini, tetapi juga dari kementerian dan lembaga lain seperti Kementerian Keuangan.

"‎Bayangkan ini sudah diperhitungkan dari perhitungan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) kemudian, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, BPJS," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.