Sukses

5 Gerai Giant Tutup di Malaysia

Pada akhir tahun ini, GCH Retail akan meluncurkan kembali toko konsep baru di KLCC.

Liputan6.com, Jakarta Tak hanya di Indonesia, bisnis ritel di Malaysia tampaknya juga melesu. GCH Retail Sdn Bhd, berencana menghentikan operasional alias menutup lima gerai Giant miliknya di Malaysia.

Kelima gerai Giant tersebut antara lain berlokasi di Sri Manjung, Sungai Petani, Mal Pusat Kota Shah Alam, Sibu dan Selayang Lama mulai 5 November 2017. Penghentian operasional dikatakan seiring berakhirnya penyewaan lokasi tempat belanja tersebut dan penurunan penjualan.

Mengutip thesundaily, Jumat (3/11/2017), selama ini GCH Retail merupakan pemilik dari gerai Cold Storage, Mercato dan Jasons Food Hall, yang mengoperasikan 54 gerai di seluruh Malaysia.

Dalam pernyataannya, perusahaan mengaku tengah meninjau operasional dari seluruh gerai miliknya dan keputusan penutupan gerai Giant tersebut untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

Kelompok usaha itu juga mengatakan, akan memindahkan toko Giant di Bercham, Perak ke lokasi yang lebih luas. Kemudian akan melipatgandakan ukuran toko untuk memberikan lebih banyak penawaran dan berbagai produk bagi pelanggannya.

Selain itu, pada akhir tahun ini, GCH Retail akan meluncurkan kembali toko konsep baru di KLCC.

"Perusahaan akan terus meningkatkan sumber daya untuk meningkatkan usaha guna menciptakan bisnis ritel yang positif bagi pelanggan kami. Kami berharap dapat melayani pelanggan kami di semua toko kami yang berada di seluruh negeri," menurut pernyataan perusahaan.

Tonton Video Pilihan Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ritel Tutup karena Masyarakat Pilih Jalan-Jalan Ketimbang Belanja

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menilai, fenomena tumbangnya toko-toko ritel modern lantaran terjadi anomali atau perubahan gaya hidup konsumen. Perilaku konsumen mulai bergeser dari hobi belanja menjadi gemar jalan-jalan atau plesiran.

Ketua Umum Aprindo, Roy Nicolas Mandey menceritakan, kinerja industri ritel modern tercatat berada di bawah atau kurang menggairahkan dalam 2,5 tahun ini. Data terakhirnya menunjukkan, pertumbuhan industri ritel pada semester I-2017 sebesar 3,7 persen atau lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu di kisaran 5-6 persen.

Dengan capaian tersebut, dia memperkirakan pertumbuhan industri ritel tahun ini hanya akan mencapai 7 persen atau turun dibanding tahun sebelumnya sebesar 9 persen. Kondisi ini berbeda dengan pertumbuhan pada 2012-2013 yang menembus 14-15 persen.

"Ini menggambarkan ritel masih tumbuh tapi melambat. Dengan pertumbuhan 7 persen, kontribusi kita sekitar Rp 210 triliun ke produk domestik bruto (PDB). Tahun lalu saja sekitar Rp 200 triliun," jelas Roy saat Diskusi Kongkow Bisnis Pas FM di Hotel Ibis, Jakarta, Rabu (1/11/2017).

Roy menerangkan, faktor penyebab utama bisnis ritel modern kembang kempis selama 2,5 tahun lebih karena perubahan perilaku konsumen. Saat ini dengan perkembangan internet (Internet of Things/IoT) ataupun era digitalisasi, sambungnya, belanja tidak lagi menjadi kebutuhan pokok selain makan dan minum.

"Konsumen bertambah, tapi porsi belanjanya makin kecil. Dulu, orang belanja sampai stok untuk sebulan, tapi sekarang belanja secukupnya saja. Kalau kehabisan beras atau lainnya, tinggal diantar ojek online. Jadi segalanya dimudahkan membuat belanja itu bukan yang utama," paparnya.

Lalu, ke mana uang mereka lari?

Menurut Roy, masyarakat kini lebih senang menggunakan uang untuk berjalan-jalan, bepergian ke suatu daerah maupun ke luar negeri (leisure). Tak heran bila grafik leisure oleh Bank Indonesia (BI), diakuinya, menunjukkan pertumbuhan 0,3 persen dari 4,58 persen menjadi 4,87 persen. Sementara pertumbuhan konsumsi hanya 0,1 persen.

"Mal sampai hari ini tetap ramai apalagi yang 70-80 persen menyediakan makanan minuman, tapi yang bawa tas belanja bisa dihitung. Dari data grafik BI ini, leisure tumbuh luar biasa, tapi konsumsi tumbuh melambat. Jadi, masyarakat menabung untuk mereka nikmati lagi untuk travel," tuturnya.

Saat orang-orang yang memiliki uang lebih menahan belanja, Roy bilang, masyarakat kelas menengah ke bawah di kabupaten/kota justru tak memiliki penghasilan untuk konsumsi. Alasannya, produktivitas mereka rendah lantaran anggaran transfer ke daerah, penyerapannya hanya 30 persen. Bahkan rata-rata provinsi, lanjutnya, baru 60 persen.

"Tahun ini sudah mau habis, lalu ke mana uangnya? Cuma nyangkut di bank, dan tidak tersalurkan. Tidak ada produktivitas, maka tidak ada hasil, kalau tidak ada hasil, tidak ada konsumsi," terangnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.