Sukses

Dongkrak Daya Beli, Pemerintah Harus Ciptakan Lapangan Kerja

Pemerintah perlu memberi stimulus lewat kebijakan fiskal untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta melakukan upaya nyata guna mendongkrak daya beli masyarakat. Salah satunya dengan membuat program yang menciptakan banyak lapangan kerja, seperti pengembangan usaha dan industri padat karya.

Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Intan Fitriana Fauzi mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), daya beli masyarakat Indonesia mengalami perlambatan di kuartal III 2017. Daya beli masyarakat turun ke posisi 4,93 persen dibandingkan kuartal I 2017 yang mencapai 4,95 persen.

‎Melihat kondisi ini, kata dia, salah satu yang bisa menopang daya beli masyarakat adalah dengan penciptaan lapangan kerja yang bersifat padat karya. Dengan demikian, diharapkan menyerap banyak tenaga kerja, sehingga masyarakat memiliki pendapatan untuk berbelanja.

“Sekarang PNS tidak banyak menyerap tenaga seperti dulu, konstruksi pun sama karena banyak menggunakan alat berat. Karena itu, pemerintah harus menciptakan lapangan pekerjaan baru. Jika tidak maka pengangguran akan bertambah,” ujarnya di Jakarta, Jumat (10/11/2017).

‎Menurut dia, penciptaan lapangan kerja baru sangat diperlukan pemerintah dalam jangka pendek jika ingin daya beli masyarakat membaik. Namun, di sisi lain pemerintah juga harus tetap menjaga daya tahan dunia usaha. Langkah ini penting agar para pengusaha bisa bertahan sehingga dapat keluar dari situasi sulit yang dihadapinya saat ini.

“Jika daya tahan dunia usaha dan masyarakat terjaga, maka pada gilirannya mampu menghidupkan roda perekonomian dengan menyerap produk-produk industri yang dihasilkan para pengusaha,” ungkap dia.

‎Selain itu, Intan menilai pemerintah perlu memberi stimulus lewat kebijakan fiskal untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Selain memperluas realisasi program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri melalui penyaluran kredit usaha rakyat (KUR), pemerintah juga harus mempercepat realisasi pemberian dana stimulus yang diarahkan untuk menambah penyerapan tenaga kerja.

Hal ini termasuk untuk membiayai proyek infrastruktur yang hasilnya dapat dirasakan langsung masyarakat.

"Saya kira, yang perlu dilakukan saat ini, memberikan insentif dan stimulus kepada dunia usaha, terutama di sektor padat karya. Hal ini sangat penting agar roda perekonomian rakyat bergerak," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Riset Nielsen

Sebelumnya, The Nielsen Company Indonesia merilis hasil survei perlambatan pertumbuhan ritel fast moving consumer good (FMCG) Indonesia. Dari rilis survei itu menunjukkan ada perlambatan pertumbuhan di sektor FMGC.

Mengutip laporan Nielsen, seperti ditulis Jumat (3/11/2017), FCMS alami perlambatan pertumbuhan dengan hanya mencapai 2,7 persen hingga September 2017, sedangkan rata-rata pertumbuhan normal tahunan mencapai 11 persen.

Bila melihat survei Nielsen, pertumbuhan FMCG cenderung melambat sejak 2012. Tercatat, pertumbuhan FCMG sekitar 14 persen dengan inflasi 8,4 persen, 2013 tercatat 10,5 persen, 2014 sekitar 11,5 persen, 2016 sekitar 7,7 persen. Hingga September 2017, FCMG tumbuh 2,7 persen.

Dalam laporan itu disebutkan kelas menengah bawah sebagai pemegang porsi yang besar mengalami perlambatan karena menurunnya take home pay (THP), kenaikan harga utility sehingga berdampak pada pengurangan konsumsi, menahan pembelian impulsif produk, dan downsizing.

"Upper class masih menunggu situasi di mana mereka hanya bertindak wait and see, namun ada indikasi di mana pengeluaran di lifestyle cenderung terus bertumbuh," tulis laporan itu.

 

3 dari 3 halaman

Daya beli solid

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Joshua Pardede, menilai, daya beli masyarakat masih cukup solid terutama di masyarakat kelas menengah hingga atas. Akan tetapi, ia melihat ada perubahan pola konsumsi masyarakat. Saat belanja, masyarakat lebih memilih untuk kebutuhan penting dan seperlunya.

"Berdasarkan data BPS pada kuartal II kalau barang konsumsi, alat rumah tangga, non durable goods turun, sedangkan bisnis restoran dan hotel naik. Jadi ada shifting," ujar Joshua saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, masyarakat menengah hingga atas sekarang menunda konsumsi. Kini mengalihkan dana untuk menabung. Hal ini karena ada sejumlah kegiatan politik yang akan berlangsung tahun depan.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah simpanan dengan saldo hingga Rp 2 miliar naik 0,99 persen dari 226,82 juta rekening pada Agustus 2017 menjadi 229,06 juta rekening. Jumlah nominalnya juga naik 0,39 persen dari Rp 2.214,108 miliar menjadi Rp 2.222.718 miliar.

"Masyarakat menengat atas wait and see dan menunda. Mereka melihat kenaikan suku bunga AS, dolar AS, dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018, dan mulai kampanye pemilihan presiden, serta pajak," ujar dia.

Joshua melihat, daya beli masyarakat akan pulih 2018. Apalagi pemerintah mendorong percepatan belanja anggaran desa dengan menggenjot proyek padat karya. Joshua menilai, hal itu dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat.

"Selain itu upah minimum akan naik, daya beli jadi akan membaik," kata dia.

Joshua pun mengingatkan kalau pentingnya perusahaan berinovasi. Ini agar tetap bertahan di tengah perkembangan teknologi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.