Sukses

Pemerintah Diingatkan Soal Harga BBM Bersubsidi

Pemerintah akan semakin berat menyesuaikan harga BBM bersubsidi kedepannya jika harga minyak dunia terus naik.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mempertahankan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) solar subsidi dan premium penugasan, meski harga minyak dunia terus naik.

Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto menilai, pemerintah mengalami kemunduran dalam hal subsidi BBM. Pasalnya, dua tahun lalu beban subsidi telah terlepas karena harga BBM bersubsidi menyesuaikan kondisi harga pasar.

"Kita berkutat ke subsidi lagi, sebelumnya 2 tahun ini sudah terlepas, tatakelola mundur lagi," kata Pri Agung di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (18/11/2017).

Menurut Pri Agung, semakin ditahannya harga BBM bersubsidi dengan tidak menyesuaikan dengan harga minyak dunia‎, membuat beban pemerintah semakin berat. 

"Pertamina terbebani. Kalau dulu dijalankan konsisten ada kenaikan tidak besar, tapi sekarang terlalu besar," tutur dia.

Bahkan dia memprediksi, pemerintah akan semakin berat menyesuaikan harga BBM bersubsidi kedepannya jika harga minyak dunia terus naik. Apalagi pada tahun depan sudah memasuki tahun politik.

‎"Ini political will. Sekarang pemerintah agak kehilangan momentum, kalau 2018 bisa lebih berat lagi," dia menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pertamina Kehilangan Potensi Pendapatan Rp 19 T

PT Pertamina (Persero) kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 19 triliun hingga kuartal III 2017. Penyebabnya kenaikan harga minyak dunia yang tidak diimbangi dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penugasan dari pemerintah.

Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, ‎dalam 9 bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) ‎naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barel.

Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM. "Harga ICP itu rata rata 9 bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata rata 9 bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan," ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis (2/11/2017).

Jika harga BBM tersebut dinaikkan, maka pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.

"Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan," kata dia.

Meski demikian, pendapatan yang diraih Pertamina di kuartal III 2017 ini tetap lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 26,62 miliar.

Namun laba bersih Pertamina hingga kuartal III tahun ini turun dibandingkan periode yang sama di 2016. Hingga September 2017, perusahaan plat‎ merah tersebut hanya meraih laba bersih US$ 1,99 miliar, dari sebelumnya US$ 2,83 miliar.

"Walaupun tanpa laba, kita bisa mencatatkan laba US$ 2,83 miliar (kuartal III 2016). Cost kita naik 30 persen, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27 persen. Angka EBITDA juga turun (dari US$ 6,23 miliar menjadi US$ 4,88 miliar)," jelas dia.

Meski mengalami kehilangan potensi pendapatan dan penurunan laba, namun Elia mengaku tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, apa yang dijalankan Pertamina selama ini telah sesuai dengan kebijakan pemerintah.

"Tapi it's okay. Ini kan kebijakan pemerintah dinikmati oleh konsumen Pertamina. Konsumen dapat harga BBM yang lebih murah. Masalah harga banyak kan selama ini, ini ditentukan oleh pemerintah. Kedua, Pertamina kan sebenarnya milik pemerintah 100 persen," tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini