Sukses

Pengampunan Pajak Jilid II Rusak Kredibilitas Sri Mulyani?

Pengampunan pajak jilid II ini akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118/PMK.03/2016.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memberi kesempatan kepada peserta pengampunan pajak (tax amnesty) untuk mendeklarasikan harta yang belum sepenuhnya dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH). Mereka tinggal mengungkapkan harta tersebut di Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh).

Pengampunan pajak jilid II ini akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 mengenai Pengampunan Pajak.

Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia (UI), Ruston Tambunan, berpendapat, penerimaan pajak yang masih jauh dari target dan potensi kekurangan (shortfall) cukup besar memaksa pemerintah membuka periode tax amnesty jilid II.

"Target penerimaan kan belum tercapai, shortfall tinggi, dan perkiraannya hanya tercapai 90 persen. Kemudian seolah-olah muncul ada tax amnesty jilid II atau perpanjangan lewat PMK," kata Ruston saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (20/11/2017).

Untuk diketahui, hingga Oktober 2017, tercapai Rp 858,05 triliun atau 66,85 persen dari target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun.

Dalam UU Nomor 11 Tahun 2016, diakui Managing Partner Center for Indonesian Tax Studies & Consultancy (CITASCO) ini jelas disebutkan bahwa pelaksanaan program tax amnesty berakhir pada 31 Maret 2017. Pemerintah juga menjanjikan bahwa ini tax amnesty 2016-2017 menjadi program tax amnesty terakhir.

"Faktanya, kini tidak segarang UU-nya. Dulu protes sana-sini untuk tax amnesty, tapi sekarang ada lagi tax amnesty. Kenapa dikasih kesempatan setahun, kok tidak dimanfaatkan. Kredibilitas hukum atau pemerintah dipertanyakan, ada tax amnesty lagi, dan dasarnya cuma PMK," kata Ruston.

Dia menduga, basis data yang diperoleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, dari program tax amnesty tahun lalu tidak berhasil merekam seluruh harta Wajib Pajak (WP). Dengan demikian, Ditjen Pajak kesulitan melakukan penegakan hukum pasca-tax amnesty.

"Saya pikir data harta-harta itu belum ter-capture dengan baik dan belum cukup kuat untuk Ditjen Pajak melakukan penegakan hukum. Jadi sekarang diimbau lagi oleh Menkeu suruh betulkan SPT, padahal kalau sudah punya datanya bisa langsung dicocokkan, sehingga jika ada harta yang ditemukan bisa dianggap tambahan penghasilan dan kena denda 200 persen," jelas Ruston.

Menurut Ruston, WP atau peserta tax amnesty memang memiliki kewajiban untuk melaporkan hartanya periode 2016-2017 dalam SPT Tahunan PPh. Namun untuk periode 2015 ke bawah, sudah diatur dengan jelas dalam UU Tax Amnesty.

"Kalau ditemukan harta 2015 ke bawah belum diungkap, dan ditemukan oleh Ditjen Pajak, maka akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan kena denda 200 persen. Jadi revisi PMK ini dan UU Tax Amnesty, tidak sinkron," tegasnya.

Ruston tak menjamin pengampunan pajak jilid II ini dapat meningkatkan kepatuhan WP dan ujung-ujungnya mendongkrak penerimaan pajak hingga akhir tahun.

"Apakah ini cara Menkeu di last minutes memberi kesempatan lagi ke WP untuk memperbaiki kepatuhannya. Dengan tarif 30 persen, 25 persen, dan 12,5 persen tidak menjamin juga akan meningkatkan penerimaan," katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jilid II

Untuk diketahui, Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, dari 34 ribu WP atau peserta tax amnesty yang mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pengalihan harta dari Nominee ke pemilik sebenarnya, sebanyak 20 persen atau 6.800 WP ditolak karena berbagai alasan. Salah satunya bukan harta tambahan yang mencapai 9 persen atau 612 orang.

"Permohonan SKB yang ditolak alasannya karena harta yang disampaikan untuk mendapatkan fasilitas bebas PPh balik nama harta berbeda dengan harta yang dideklarasikan di program tax amnesty. Mungkin mereka lupa," paparnya.

Dia mengimbau kepada WP yang sudah ikut program pengampunan pajak dan belum melaporkan harta seluruhnya dalam SPH untuk segera mengungkapnya di Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh). Pasalnya, ada sanksi 200 persen bagi WP yang tidak patuh.

"Kalau masih ada rumah atau tanah yang tidak masuk di tax amnesty lalu, segera masukkan ke SPT Masa PPh," kata dia.

"Kalau segera masuk ke SPT Masa PPh, maka mereka yang memasukkan hartanya, hanya dikenakan tarif normal biasa, bukan termasuk harta yang ditemukan Ditjen Pajak dan dikenakan sanksi," ujarnya.

Tarif PPh normal sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan, sepanjang Ditjen Pajak belum melakukan pemeriksaan.

Adapun besaran tarif PPh untuk WP orang pribadi sebesar 30 persen, badan usaha sebesar 25 persen, dan WP tertentu dikenakan tarif 12,5 persen.

Insentif Pajak Bagi WP Tak Ikut Tax Amnesty

Dalam beleid revisi PMK 118/2016 disebutkan juga pemerintah memberi kesempatan kepada WP yang tidak ikut tax amnesty untuk mengungkapkan sendiri harta yang belum dilaporkan dalam SPT dengan membayar PPh sesuai tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017.

PP ini mengatur Pajak Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan, sepanjang Ditjen Pajak belum melakukan pemeriksaan.

"Waktu sosialisasi tax amnesty oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu, kalau masyarakat tidak ikut tax amnesty dan ketahuan oleh Ditjen Pajak ada harta yang belum dilaporkan di SPT, untuk harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan," tegas Sri Mulyani.

Dia menjelaskan, untuk harta yang ditemukan Ditjen Pajak tersebut atas WP yang tidak ikut tax amnesty akan dikenakan PPh dengan tarif normal plus sanksinya. Tarif PPh normal untuk WP Orang Pribadi sebesar 30 persen, Badan Usaha sebesar 25 persen, dan WP tertentu dikenakan tarif 12,5 persen.

"Plus sanksinya 2 persen dikalikan maksimum 24 bulan. Artinya, sanksi ini cukup tinggi jika ditemukan harta itu oleh Ditjen Pajak," tegas Sri Mulyani.

Lebih jauh Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan pelaporan SPT maupun pembayaran pajak dari para WP yang tidak ikut tax amnesty. Dia menyebut, data peserta tax amnesty kurang dari 1 juta WP. Itu artinya, masih banyak masyarakat yang belum ikut tax amnesty.

Ia melanjutkan, Indonesia akan mengimplementasikan pertukaran data secara otomatis untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) tahun depan, sehingga WP diingatkan untuk taat hukum dalam melaksanakan kewajiban pajaknya.

"Kalau tidak ikut tax amnesty, takut kena sanksi, silakan WP terus menerus memperbaiki kepatuhannya, memberikan penjelasan harta selengkap mungkin di SPT," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Sri Mulyani mengimbau agar WP yang tidak ikut tax amnesty dapat mendeklarasikan seluruh hartanya di SPT Masa PPh. Atas hal itu, pemerintah berjanji tidak akan memberikan sanksi administrasi atas harta tersebut.

"Jadi masukkan ke SPT Masa PPh, maka mereka hanya akan masuk ke harta tambahan bersih yang hanya dikenakan tarif PPh normal. Bukan dianggap harta temuan Ditjen Pajak dan dikenakan sanksi," tukasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.