Sukses

PNS Ajukan Uji Materi Undang-Undang ASN ke MK

Para PNS ini merasa tidak puas dengan penunjukan PT Taspen, sebagai pengelola Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi PNS.

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) mengajukan permohonan uji materi isi Pasal 92 Ayat 4 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Permohonan uji materi diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (5/12/2017).

Para PNS ini merasa tidak puas dengan penunjukan PT Taspen (Persero), sebagai pengelola Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi ASN. 

Perwakilan PNS dipimpin Dwi Maryoso, yang merupakan PNS di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan PNS di Kementerian Ketenagakerjaan, Feryando Agung Santoso. 

"Dengan Pasal 92 Ayat 4 dan Pasal 107 UU ASN dan penafsiran Mahkamah Agung yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 32P/HUM/2016 8 Juni tahun 2017, mengakibatkan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Aparatur Sipil Negara dikelola oleh PT Taspen (Persero) yang berdasarkan Sistem Jaminan Sosial Nasional tidak berwenang menyelenggarakan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Aparatur Sipil Negara," ujar Dwi Maryoso dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (5/12/2017).

Menurut dia, Taspen (Persero) bukanlah badan hukum publik yang dibentuk dengan undang-undang dan bersifat nirlaba, tetapi merupakan BUMN yang bertujuan mencari laba yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah.

Pemohon sebelumnya telah mengajukan uji materi di MK terhadap PP Nomor 70 Tahun 2015, karena pemohon menganggap aturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Namun, MK menolak permohonan uji materi pemohon melalui Putusan Mahkamah Agung nomor 32P/HUM/2016 tanggal 8 Juni tahun 2017.  

MA berpendapat, PP Nomor 70 Tahun 2015 tidak bertentangan Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang Sistem SJSN karena Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 didasarkan pada  Pasal 92 ayat 4 dan Pasal 107 UU ASN yang merupakan kebijakan hukum yang bersifat khusus.

Senada dengan Dwi, Feryando Agung Santoso juga berpendapat bahwa dengan adanya pasal 92 ayat 4 dan pasal 107 UU ASN dan Putusan Mahkamah Agung nomor 32P/HUM/2016 tersebut, maka dia dan rekan-rekan PNS lainnya secara otomatis kehilangan hak konstitusional untuk diikutkan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional sesuai dengan 28H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2 UUD 1945.

Dia menuturkan, mengacu pasal 92 ayat 4 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dan Putusan Mahkamah Agung nomor 32P/HUM/2016 mengakibatkan pemberi kerja pemohon yaitu pemerintah wajib untuk mengikutkan pemohon dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang dikelola oleh Taspen yang tidak termasuk dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Dia menambahkan, pasal 92 ayat 4 dan pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Aturan ini berbunyi, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Bahkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014 yang ditegaskan lagi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-XIV/2016 bahwa iuran asuransi sosial disamakan dengan pajak.

Dia mengatakan, karena iuran asuransi sosial disamakan dengan pajak, maka menurut Pasal 23A UUD 1945, pemungutannya harus diatur dengan undang-undang.

Akan tetapi, lanjut dia, dalam Pasal 92 ayat 4 dan pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) untuk Aparatur Sipil Negara diatur dengan PP dan dalam pelaksanaannya dilaksanakan Taspen.

"Padahal Taspen bukanlah lembaga yang dibentuk dengan undang-undang, tetapi dengan Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981," dia menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini