Sukses

Kata Bos Bitcoin Indonesia soal Wajib Bayar Pajak dari Transaksi

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mewajibkan penggunaan mata uang digital bitcoin sebagai produk investasi oleh wajib pajak yang peroleh keuntungan harus bayar pajak penghasilan (PPh) dan lapor ke surat pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. Lalu bagaimana tanggapan CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan mengenal hal itu?

Oscar menuturkan, pihaknya mendukung kewajiban pembayaran pajak tersebut termasuk dari perdagangan aset digital. Ini mengingat aset digital juga perlakuannya sama terhadap keuntungan dari jual beli barang pada umumnya.

"Saya setuju semua penghasilan keuntungan dari trading digital aset wajib bayar pajak karena perlakuannya sama seperti keuntungan dari jual beli barang pada umumnya. Kalau ada keuntungan harus dimasukkan di SPT masing-masing sebagai penghasilan lain-lain," kata Oscar lewat pesan singkat yang diterima Liputan6.com, Rabu (13/12/2017).

Oscar menuturkan, transaksi bitcoin di Indonesia belum selikuid di Jepang. Ia pun belum menjelaskan detail mengenai transaksi bitcoin di Indonesia.

Akan tetapi, ia mengharapkan, transaksi aset digital di Indonesia juga dapat dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN). Ini yang dilakukan di Australia, Jepang dan Uni Eropa.

"Kalau sampai legal 100 persen seperti di Jepang, bisa potensi pajaknya besar sekali. Itu salah satu alasan di Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat melegalkan transaksi bitcoin. Bisa memacu devisa negara," kata Oscar.

Oscar menambahkan, transaksi bitcoin dapat memacu devisa seperti Jepang, lantaran ketika negara itu legalkan transaksi bitcoin 100 persen, Jepang menjadi pusat seluruh transaksi bitcoin di Asia.

"Transaksi mereka berkembang dari sehari belasan juta dolar AS jadi US$ 500 juta sehari. Pendapatan bursa bayar pajak ke negara. Sekarang Jepang jadi pusat transaksi bitcoin di Asia," kata Oscar.

Oscar menuturkan, Jepang yang maju juga mendorong industri aset digital ke negaranya. Hal ini mendorong 65 persen transaksi jual beli bitcoin di dunia, menurut Oscar terjadi di Jepang. "Tadi US$ 500 juta sehari itu cuma satu bursa. Di Jepang ada belasan bursa bitcoin resmi," kata dia.

Oscar menuturkan, bitcoin ibarat komoditas dan dijadikan spekulasi. Oleh karena itu, transaksi bitcoin punya risiko tinggi. "Menurut saya, ini hanya cocok untuk orang yang ingin memiliki portofolio risiko tinggi saja," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sebab Nilai Bitcoin Melambung

Mata uang virtual bitcoin terus menjadi perbincangan di pasar keuangan dunia. Apalagi nilai tukar bitcoin terus melambung mencapai ratusan juta rupiah.

Sebenarnya apa penyebab nilai tukar bitcoin terus melambung?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, berpendapat, tingginya nilai bitcoin karena masyarakat mulai mencari alternatif lain dalam investasi.

"Bitcoin bisa tumbuh dan harganya naik terus karena ada trust. Nah trust ini harganya mahal. Kalau kita lihat dolar AS sekarang ini cenderung unpredictable-lah nilainya. Jadi orang mencari alternatif lain dalam investasi," ujar dia di Jakarta, Selasa pekan ini.

Dia melanjutkan, bitcoin menjadi berharga karena jumlahnya yang relatif terbatas. Hal tersebut berbeda dengan mata uang yang jumlahnya tidak terbatas karena bisa dicetak lagi oleh bank sentral.

"Bitcoin ini kalau kita lihat dengan metode algoritma itu kan dengan jumlah tertentu. Dia tidak akan unlimited, sedangkan negara-negara lain kita lihat cetak uang terus-menerus sehingga nilainya menjadi tidak menentu," jelas dia.

Lebih lanjut, Aviliani mengatakan, ke depan bitcoin ini tetap mesti diatur. Hal ini untuk mengantasipasi adanya ketidakpercayaan pada bitcoin.

"Menurut saya, tetap saja harus ada kajian terkait bitcoin ini, walaupun tidak sekarang. Karena pada akhirnya muncul untrust dengan mereka-mereka yang membuat bitcoin ini," ujar dia.

Perihal pihak yang mengatur, menurutnya, lebih baik diatur Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

"Menurut saya cenderung sektor keuangan terutama OJK dan BI terutama di NPG-nya kan. Sedangkan dari sisi e-commerce-nya mungkin lebih mengatur pada mekanisme apa ya, sekarang ini kan keluar uang masuk aja enggak bisa kan. Aturan itu tidak atau belum ada. Mau tidak mau melibatkan Kominfo karena ini kan virtual ya," tukas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.