Sukses

Sektor Keuangan RI Harus Berbenah Hadapi Era Baru Teknologi

Fenomena disruptive innovation dan sharing economy tak hanya pangkas peran perantara konvensional di sektor transportasi tapi juga keuangan.

Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi digital akan membawa dampak pada industri keuangan dan perbankan. Industri keuangan tersebut harus mengambil ancang-ancang untuk menghadapi perubahan.

Presiden Diretur‎ PT Bahana TWC Investment Management Edward Lubis mengatakan, saat ini kegiatan bisnis berada di dalam lingkungan volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA). Bagi dunia bisnis, karakter VUCA saat ini terbentuk akibat serbuan dan benturan berbagai faktor struktural baik eksternal maupun internal.

"Misalnya saja teknologi informasi, konflik geopolitik, kelebihan likuiditas global, penuaan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat, hingga melebarnya ketimpangan kemakmuran antar anggota masyarakat," kata‎ Edward, dalam catatan akhir 2017‎ PT Bahana TWC Investment Management, di Jakarta, Sabtu (23/12/2017).

‎Menurut Edward, pihaknya meyakini fenomena disruptive innovation dan sharing-economy, yang memangkas peran perantara (disinter mediation) konvensional tidak hanya terjadi pada sektor transportasi antara lain Uber, Gojek, hotel seperti AirBnB. Selain itu, ritel e-commerce antara lain Amazon, Alibaba, Bukalapak. Akan tetapi juga pada industri keuangan perbankan dan pengelolaan dana di tanah air.

"Kami juga harus mengantisipasi proses serupa akan mendesak dunia keuangan, perbankan, dan pengelola dana di ‎tanah air," tutur Edward.

Dia menyebutkan, prediksi ‎Mantan CEO Citigroup, Vikram Pandit, sekitar 30 persen‎ pekerjaan perbankan akan musnah dalam periode lima tahun ke depan cukup beralasan. Hal ini mengingat sudah ribuan kantor cabang bank di Eropa ditutup sejalan dengan meningkatnya layanan perbankan online.

Bahkan di Indonesia, layanan perbankan online dan mobile sudah menjadi gaya hidup tidak hanya bagi masyarakat perkotaan, tetapi juga bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan.

Menurut dia, perusahaan pengelola dana yang berbasis strategi active portfolio management dengan target mengalahkan acuan (benchmark) harus segera berbenah bila tidak ingin rapuh (fragile) dan kemudian punah (deceased).

Sebab, di tengah kecenderungan penurunan expected return kelas aset saham dan obligasi, kini harus bersaing dengan passive portfolio management seperti indeks dan exchange traded fund (ETF) serta artificial inteligence robo-investment manager yang mengenakan management fee lebih rendah.

Investor, terutama dana pensiun menjadi lebih sensitif dengan biaya pengelolaan, mengingat masih banyak yang memiliki posisi underfunded.

Mengantisipasi persaingan yang semakin sengit, perusahaannya terus memperkuat diri agar menjadi lebih gesit (agile), terutama pada divisi riset, pengelolaan dana, dan alternative investment.

Selain itu, juga mempertajam proses investasi agar divisi riset dapat memberikan nilai tambah yang tercermin pada kinerja pengelolaan dana yang memuaskan, tetap kompetitif dan konsisten.

"Kami juga menyederhanakan acuan kinerja pengelolaan dana. Perbandingan tidak lagi dilakukan dengan indeks acuan atau peers secara keseluruhan, tetapi fokus berkompetisi dengan pesaing utama," tutur dia.

‎"Selain itu, kami juga memperkuat divisi alternative investment, langkah tersebut sejalan dengan upaya mendukung program pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur," tambah dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

30 Persen Pekerjaan di Bank Akan Hilang

Sebelumnya, Mantan Bos Citigroup, Vikram Pandit mengatakan, teknologi yang makin berkembang akan menjadi ancaman tersendiri bagi para pekerja di dunia perbankan. Dalam lima tahun yang akan datang, ia memprediksi 30 persen pekerjaan di bank bisa menghilang.

Dalam wawancara dengan Bloomberg, pria 60 tahun ini mengatakan, ancaman terbesar teknologi datang dari kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan robot. Dua teknologi ini akan menggantikan sumber daya manusia yang bekerja di back office.

"Saya melihat dunia perbankan beralih dari lembaga keuangan besar ke perusahaan yang sedikit lebih terdesentralisasi," tuturnya seperti dilansir dari Bloomberg, Sabtu 16 September 2017.

Prediksi Pandit ternyata sama dengan riset yang dikeluarkan Citigroup pada Maret lalu. Dalam laporan tersebut, diperkirakan 30 persen pekerjaan perbankan akan hilang selama satu dekade mendatang. Perusahaan perbankan juga akan semakin banyak menggunakan kinerja robot untuk melakukan berbagai pekerjaan.

Laporan Citi juga menyebutkan, adanya kantor cabang dan biaya staf bank membuat sekira 65 persen dari total biaya ritel dasar bank yang lebih besar. Banyak dari pekerjaan ini berisiko terkena dampak automatisasi.

Pekerjaan teller secara khusus juga terancam. Hal ini terlihat dari jumlah teller di bank AS telah menurun 15 persen sejak mencapai puncaknya pada 2007.

Negara yang mengalami pergeseran profesi perbankan terbesar adalah China. Di banyak tempat, kecerdasan buatan dan internet telah menggantikan posisi bank di Negeri Tirai Bambu ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.