Sukses

Utang RI Masih Lebih Rendah ketimbang Malaysia

Ekonom PT Bahana TCW Invesment Management Budi Hikmat mengatakan, utang merupakan konsekuensi kebijakan fiskal ekspansif untuk pacu ekonomi.

Liputan6.com, Jakarta - Chief Economist PT Bahana TCW Invesment Management Budi Hikmat menilai, banyak pemahaman masyarakat terutama generasi milenial yang perlu diluruskan terkait utang negara. Padahal pemerintah melalui banyak kesempatan menjelaskan mengenai pengelolaan utang negara.

Budi menuturkan, posisi utang mencapai US$ 286,6 miliar hingga September 2017. Angka itu sekitar Rp 3.869 triliun dengan asumsi kurs Rp 13.500 per dolar Amerika Serikat. Posisi utang itu naik sekitar 34 persen dan 8,1 persen masing-masing dibanding tiga dan setahun terakhir.

"Jadi memang meningkat. Porsi terbesar, sekitar 81 persen atau Rp 3.130 triliun berupa surat utang negara yang dalam periode sama melonjak 47,6 persen dan 11,6 persen," ujar dia, seperti dikutip dari catatan akhir 2017 PT Bahana TCW Invesment Management, Sabtu (23/12/2017).

Budi mengatakan, Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani telah berulang kali menjelaskan untuk tidak melihat posisi absolut, melainkan terhadap produk dometik bruto (PDB) dan dibandingkan dengan banyak negara.

"Jadi terlihat tingkat utang Indonesia yang sekitar 30 persen produk domestik bruto (PDB) masih jauh lebih rendah dibandingkan negara lain," kata Budi.

Berdasarkan catatan Bahana TCW Invesment Management, tingkat utang negara lain terhadap PDB yaitu Jepang sekitar 234,7 persen, Yunani 182 persen, Italia 132,5 persen, Amerika Serikat (AS) sekitar 77,8 persen, Jerman sekitar 68,2 persen, Malaysia sekitar 55,1 persen, India sekitar 52,3 persen dan Thailand sekitar 50,4 persen.

"Kecuali Yunani, negara di atas umumnya menikmati peringkat investasi yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia," ujar Budi.

Selain itu, pemerintah juga menjelaskan, utang digunakan untuk pembiayaan produktif terutama untuk infrastruktur yang manfaatnya akan dirasakan oleh masyarakat.

"Berutang merupakan konsekuensi kebijakan fiskal ekspansif untuk memacu pertumbuhan ekonomi di tengah keterbatasan pemungutan pajak," ujar dia.

Budi mencermati, tantangan terbesar pemerintah terkait beban bunga dan cicilan pokok, baik secara absolut maupun relatif terhadap ekspor. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pemerintah anggarkan pembayaran bunga sebesar Rp 219,2 triliun atau sekitar 10,3 persen dari APBN.

"Beban pembayaran bunga utang itu rata-rata bertumbuh sebesar 10,5 persen selama 10 tahun terakhir. Bila dibandingkan dengan perolehan nilai ekspor non migas, beban bunga itu kami taksir sebesar 13 persen. Angka ini melonjak menjadi sekitar dua kali lipat bila ditambah utang swasta yang ditaksir mencapai Rp 2.480 triliun," jelas dia.

Budi mengatakan, upaya untuk kurangi ketergantungan terhadap utang tentunya melalui penerimaan pajak. Hingga September 2017, penerimaan pajak dilaporkan mencapai Rp 770 triliun. Angka ini baru sekitar 60 persen dari target Rp 1.283,6 triliun. Penerimaan pajak masih kurang sekitar Rp 513 triliun hingga akhir tahun.

Budi menuturkan, utang pemerintah juga dapat sebagai sarana investasi lewat surat utang negara (SUN). Ini dapat dilanjutkan usai masyarakat memulai investasi melalui reksa dana pasar uang.

Budi mengatakan, kinerja indeks SUN dalam dua tahun mengesankan. Portofolio investasi SUN ini juga bertujuan sebagai perlindungan nilai baik terhadap credit risk dan inflation risk.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemerintah Tambah Utang untuk Masa Depan Indonesia

Sebelumnya, pembangunan infrastruktur di Indonesia pada 2017 sangat gencar. Itu dapat terlihat dari berbagai proyek pembangunan, seperti jalan tol, jalan lintas Papua hingga jalur kereta api, bendungan, jembatan dan beberapa proyek lainnya.

Demi melancarkan pembangunan tersebut, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sampai harus menumpukkan menambah utang. Namun Jokowi berkali-kali mengatakan, apa yang dilakukannya adalah demi Indonesia yang lebih baik.

Hal itu turut diamini oleh Firdaus Ali, peneliti dan pendidik dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI). Dia menuturkan, pembangunan infrastruktur itu berkorelasi dengan pembangunan ekonomi ke depannya.

"Jokowi telah berutang untuk sesuatu yang produktif, yakni pembangunan infrastruktur yang juga akan mendorong perkembangan ekonomi negara di masa depan," papar Firdaus di acara 'Rembuk Nasional 2017, Outlook 2018: Tantangan dan Peluang di Tahun Politik 2018', Kamis 21 Desember 2017.

Dia pun mengapresiasi upaya Jokowi yang telah menyasar pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang sebelumnya tidak terjamah, seperti di Papua.

"Presiden kita ingin meninggalkan pandangan lama yang menganggap pemerintah sebagai pihak yang Jawa sentris. Dia ingin melakukan pembangunan nasional sampai ke pelosok di daerah timur, seperti Papua," ujarnya.

Firdaus juga menambahkan, proyek infrastruktur yang menjaga ketahanan air turut dicanangkan. Seperti pembangunan sistem irigasi sepanjang 2017, di mana secara angka itu adalah yang terbesar sepanjang sejarah.

Target pengembangan infrastruktur masih akan terus berlanjut hingga tahun depan. Pemerintah mengalokasikan anggaran 2018 kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar Rp 106,911 triliun.

Firdaus menilai, jumlah yang tidak sedikit itu digelontorkan demi hasil yang juga sepadan nantinya. "Nanti kita semua akan merasakannya, bahwa ramainya pembangunan infrastruktur saat ini bertujuan untuk memajukan ekonomi bangsa," tegasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.