Sukses

Sempat ke Level Tertinggi, Harga Minyak Akhirnya Tenggelam

Pendorong penurunan harga minyak adalah perbaikan pipa di Libya yang rusak yang dicurigai akibat serangan pada pekan lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak melemah pada perdagangan Selasa setelah sebelumnya atau pada awal perdagangan sempat menyentuh level tertinggi sejak pertengahan 2015. Pendorong pelemahan tersebut karena jaringan pipa utama Libya sudah mulai berjalan dan produksi AS kembali melonjak.

Mengutip Reuters, Rabu (3/1/2018), harga minyak mentah berjangka AS atau West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan 20 sen lebih rendah pada kisaran US$ 60,22 per barel. Pada awal perdagangan WTI sempat mencapai US$ 60,74 per barel, tertinggi sejak Juni 2015.

Sedangkan harga minyak mentah Brent yang menjadi patokan internasional, turun 53 sen atau 0,8 persen menjadi US$ 66,34 per barel. Sesi tertinggi sempat menyentuh level US$ 67,29 per barel dan merupakan tertinggi sejak Mei 2015.

Pendorong penurunan harga minyak adalah perbaikan pipa di Libya yang rusak yang dicurigai akibat serangan pada pekan lalu sudah selesai. Pipa tersebut sudah dapat mengalirkan lagi minyak meskipun secara bertahap.

"Masalah pipa di membuat harga minyak WTI sedikit menyempit pada perdagangan Selasa ini," jelas David Thompson, executive vice-president Powerhouse di Washington.

Di luar itu, harga minyak memang dalam tren penguatan jika dilihat dari grafiknya. Menurut David, tren tersebut baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Produksi AS

Pemotongan produksi minyak mentah dari negara-negara OPEC dan non OPEC seperti Rusia yang dimulai pada Januari 2017 dan akan berlanjut pada 2018 telah membantu kenaikan harga minyak selama tahun lalu.

Persediaan minyak mentah komersial A.S. telah turun hampir 20 persen dari puncak tertinggi sejarah mereka pada Maret lalu, menjadi 431,9 juta barel.

Pertumbuhan permintaan yang kuat, terutama dari China, juga telah mendukung kenaikan harga minyak mentah.

Namun, meningkatnya produksi AS, yang hampir menembus 10 juta barel per hari, telah membuat outlook bullish.

"Kami pikir pertumbuhan produksi minyak AS dapat merusak upaya penyeimbangan pasar OPEC, mendorong pasar mengalami surplus pada 2018," tulis Barclays dalam catatannya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.