Sukses

Dilarang Menteri Susi, Bagaimana Cantrang di Mata Nelayan?

KKP akan terus memberikan solusi bagi nelayan yang semula menggunakan alat tangkap cantrang agar tetap bisa mencari ikan.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah resmi melarang penggunaan alat tangkap cantrang per 1 Januari 2018. Penggunaan alat cantrang tersebut dianggap merugikan para nelayan tradisional dan merusak ekosistem laut.

Lantas sebenarnya bagaimana alat tangkap cantrang di mata para nelayan tradisional?

Ketua Serikat Nelayan Tradisonal (SNT) Kajidin mengatakan, sebenarnya alat tangkap yang merugikan nelayan tradisional adalah trawl atau pukat hela. Selain merusak ekosistem laut, alat tangkap ini juga merusak jaring milik nelayan.

"Untuk nelayan tradisional yang harga mati (untuk dilarang) alat tangkap trawl, itu sudah harga mati tidak bisa ditawar. Karena itu merusak ekosistem laut dan menerjang jaring-jaring nelayan sehingga kita tidak toleran dengan alat tangkap itu," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (14/1/2018).

Namun untuk alat tangkap cantrang, lanjut dia, banyak nelayan yang masih memberikan toleransi terhadap penggunaan alat tangkap tersebut. Karena alat tangkap tersebut dianggap tidak berbahaya bagi ekosistem laut dan banyak digunakan oleh para nelayan khususnya di wilayah Jawa Tengah.

"Tetapi kalau cantrang, kawan-kawan yang menggunakan alat tangkap noncantrang masih memberikan toleransi. Karena cara mereka menangkap berbeda. Soal merusak lingkungan juga masih dipertanyakan. Sehingga kita masih bisa menerima," tandas dia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan mulai 1 Januari 2018 penggunaan alat tangkap cantrang. Meski, selama ini masih-masih ada pihak yang kontra terhadap kebijakan tersebut.

Sekretaris Jenderal KKP Rifky Effendi Hardijanto mengatakan, mulai 1 Januari 2018, tidak ada lagi tawar menawar soal larangan penggunaan cantrang untuk menangkap ikan. Sehingga mulai awal tahun depan, nelayan di seluruh Indonesia sudah tidak lagi diperbolehkan untuk menggunakan alat tangkap tersebut.

‎"Cantrang selesai sudah, tidak perlu dibahas lagi. 1 Januari 2018 pelarangannya diterapkan, jadi artinya cantrang tidak boleh beroperasi di Indonesia," ujar dia di Kantor KKP, Jakarta.

Dia menjelaskan, meskipun masih ada yang keberatan dan melayangkan protes terhadap kebijakan tersebut, kebijakan ini harus tetap berlaku.

‎"Ya protes kan bisa saja, tapi kan kita bikin aturan harus ditaati, harus diikuti oleh rakyat. Kalau tidak ada yang setuju kan biasa, tetap saja harus ditaati. Negara kalau tidak ada aturannya ya mau bagaimana," kata dia.

Rifky mengakui, memang masih ada nelayan yang belum memiliki alat tangkap lain sebagai pengganti cantrang‎. Namun KKP akan terus memberikan solusi bagi nelayan agar tetap bisa mencari ikan.

"Ya kalau ada 1-2 case nanti kita selesaikan case by case. pasti ada yang belum selesai, tapi kan tidak signifikan," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Alasan Pelarangan Cantrang

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, larangan pengoperasian kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan.

Alasannya, penggunaan alat tangkap tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan biota laut, karena kerja dari alat tersebut mengeruk dari dasar laut.

"Kapal cantrang oleh regulasi nasional dan internasional seperti Food and Agriculture Organization (FAO) memang dilarang karena berdampak negatif terhadap lingkungan laut‎," kata Luhut, saat menghadiri ‎Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal, di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa (11/7/2017).

Luhut mengakui, larangan penggunaan alat tangkap cantrang tersebut akan membuat nelayan dan buruh tidak bisa berlayar. Oleh karena itu, pemerintah telah memberikan solusi dengan mengganti alat tangkap yang ramah lingkungan. Selain itu, pemerintah juga memberikan ketrampilan lain kepada para nelayan.

Hal tersebut agar pendapatan para nelayan tidak putus sehingga tidak menimbulkan kemiskinan. Menurut Luhut, jika muncul kemiskinan, maka akan memberikan dampak yang sangat besar seperti terorisme.

"Tanpa harus beranalisis secara berlebihan, fakta menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan pemicu instabilitas bahkan terorisme," ucapnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.