Sukses

Konsumen RI Optimistis Hadapi Kondisi Ekonomi pada 2018

Konsumen Indonesia cenderung menunjukan sikap optimistis dalam menghadapi kondisi ekonomi pada 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Konsumen Indonesia cenderung menunjukan sikap optimistis dalam menghadapi kondisi ekonomi pada 2018. Dari hasil survei pada kuartal IV 2017, 58 persen responden memberikan respons positif terhadap kondisi ekonomi Indonesia pada 2018.

"Konsumen di Indonesia memiliki optimistis tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Dari hasil survei yang telah kami lakukan, 58 persen responden kami memberikan respons positif terhadap kondisi ekonomi masa depan. Sementara itu, 15 persen responden memberikan respons yang pesimistis terhadap kondisi ekonomi di Indonesia. Sisanya, sebanyak seperempat dari total jumlah responden memilih netral," jelas Andres Christian, Managing Director Inside.ID, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (20/1/2018).

Menurut Andres, tingkat optimisme terhadap masa depan ekonomi di Indonesia merupakan imbas dari sentimen positif dari kondisi ekonomi di tahun sebelumnya. Dari data yang didapatkan, 86 persen responden memberikan respons yang positif terhadap kondisi ekonomi mereka pada 2017. Hal itu berdasarkan survei yang dilakukan lembaga riset pemasaran Inside.ID.

"Merujuk pada kondisi tahun 2017, dari data riset yang kami lakukan, 86 persen responden mengklaim kondisi ekonomi rumah tangga mereka cukup baik. Sementara itu, hanya 14 persen responden yang menganggap kondisi ekonomi rumah tangga mereka buruk. Ini menjadi modal besar untuk menghadapi setidaknya tahun 2018 dan 2019 dimana sebagian besar konsumen di Indonesia beranggapan tahun-tahun tersebut adalah tahun-tahun politik," jelas Andres.

Anomali Di Tengah Optimisme Konsumen Indonesia

Dalam riset yang bertajuk "Understanding Indonesian Consumers Outlook 2018", Andres juga menjelaskan diperlukan kewaspadaan dalam menyikapi data tentang optimisme ekonomi Indonesia dari sudut pandang konsumen di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan korelasi antara tingkat pendapatan dan pengeluaran konsumen di Indonesia setiap bulannya.

"Pada dasarnya, sebagian besar konsumen di Indonesia mengaku bahwa pada tahun 2017 pendapatan mereka mengalami kenaikan. Namun, dari data yang ada, 54 persen mengaku bahwa kenaikan pendapatan yang mereka dapatkan tidak terlalu signifikan. Hanya 8 persen responden yang mengatakan bahwa pendapatan mereka setiap bulan naik signifikan. Sementara itu, sisanya menyampaikan bahwa pendapatan bulanan mereka tidak berubah atau justru mengalami penurunan," kata Andres.

Andres menambahkan, dari pendapatan yang didapatkan setiap bulan, sekitar 11 persen dari konsumen Indonesia mengklaim mereka memiliki pendapatan yang cukup lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran mereka. Namun, secara umum perbandingan antara pendapatan dan belanja hampir sama, yaitu mencapai 68 persen.

"Dengan kata lain, meski konsumen di Indonesia memiliki kenaikan pendapatan, namun nampaknya biaya bulanan yang mereka konsumsi juga meningkat," kata Andres.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, Andres menuturkan, pihaknya menemukan data dari pendapatan bulanan yang didapatkan responden, rata-rata sebanyak 32 persen dihabiskan untuk biaya konsumsi kebutuhan pokok bulanan seperti kebutuhan sandang dan pangan. 29 persen lagi digunakan untuk kebutuhan rutin bulanan seperti biaya telepon, listrik, dan pulsa.

"Setelah mengalokasikan untuk biaya rutin dan kebutuhan pokok, rata-rata sebanyak 13 persen dari pendapatan mereka digunakan untuk membayar kartu kredit maupun cicilan bulanan. Setelah itu, sisanya baru dialokasikan untuk investasi, asuransi, maupun pembelanjaan tersier seperti berwisata Bersama keluarga," jelas Andres.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

DBS Prediksi Konsumsi Rumah Tangga Membaik pada 2018

Sebelumnya, konsumsi rumah tangga diperkirakan kembali pulih pada 2018. Sejumlah indikator menunjukkan adanya peningkatan optimisme konsumen yang terlihat dari kenaikan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Desember 2017 ke 126,4 poin.

Ini didukung oleh adanya perbaikan makro ekonomi serta kebijakan pemerintah memberikan stimulus kepada masyarakat. Konsumsi rumah tangga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada 2017. Pada kuartal III, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 5,06 persen lebih rendah dari target Bank Indonesia sebesar 5,18 persen.

Rendahnya pertumbuhan tercermin dari tingkat konsumsi rumah tangga yang turun menjadi 4,93 persen, dibandingkan 4,95 persen pada kuartal II-2017. Apalagi kenaikan tarif listrik pada Januari dan Mei turut mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.

Namun kondisi ini diperkirakan membaik pada 2018. DBS Group Research memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,3 persen pada 2018. Angka ini lebih tinggi dari prediksi pertumbuhan PDB sebesar 5,1 persen pada 2017.

"Pertumbuhan ekonomi 2018 terutama akan didorong oleh peningkatan investasi di dalam negeri," ungkap Tiesha Putri dan Victor Stefano dalam laporan bertajuk “ASEAN Consumer: Food for Thought," seperti dikutip dari keterangan tertulis Senin (15/1/2018).

Investasi swasta diandalkan dengan terbatasnya ruang fiskal pemerintah. Undang-Undang (UU) mengatur pembatasan defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB. Diperkirakan defisit akan mencapai 2,6 persen pada 2018, lebih tinggi dari perkiraan pemerintah sebesar 2,2 persen.

DBS Group Research memperkirakan kenaikan defisit terutama didorong oleh potensi penerimaan pajak yang lebih rendah dari target.

Pada 2018, pemerintah mengalokasikan anggaran belanja sebesar Rp 2.221 triliun. Meski hanya meningkat sekitar empat persen dari tahun sebelumnya, tapi pemerintah diperkirakan cenderung lebih populis dengan memberikan sejumlah stimulus fiskal untuk menjaga konsumsi kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

Anggaran subsidi energi dinaikkan sebesar 5 persen menjadi Rp 94,5 triliun, pemerintah juga menyatakan tidak akan menaikkan tarif listrik pada 2018.

Selain itu anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang bisa digunakan warga untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari juga melonjak. Dari Rp 1,7 triliun yang mencakup 6 juta keluarga sasaran pada 2017, menjadi Rp 20,8 triliun meliputi 10 juta keluarga pada 2018.

PKH merupakan program yang memberikan bantuan dana kepada keluarga miskin mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 3,6 juta per tahun. Program ini selain untuk mengurangi angka kemiskinan juga diharapkan mampu memperbaiki daya beli konsumen, terutama di segmen menengah ke bawah.

"Dengan pemerintah yang cenderung lebih populis disertai kenaikan upah minimum regional, kami memprediksikan tingkat konsumsi rumah tangga secara berkala akan meningkat," papar Tiesha.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.