Sukses

Chatib Basri: Kebijakan Ekonomi di Era Digital Jangan Kaku

Ekonom sekaligus Mantan Menteri Keuangan (Menkeu), Chatib Basri menilai, birokrasi harus mengubah pola pikirnya agar tidak identik dengan kekakuan dan menjadi lebih fleksibel dalam membuat kebijakan di era digitalisasi.

Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran digitalisasi turut mempengaruhi sektor ekonomi. Berbagai aturan baru pun dibuat untuk menyesuaikan kebijakan demi menyambut era digitalisasi.

Ekonom sekaligus Mantan Menteri Keuangan (Menkeu), Chatib Basri menilai, birokrasi harus mengubah pola pikirnya agar tidak identik dengan kekakuan dan menjadi lebih fleksibel, sehingga dapat mengejar inovasi di dunia ekonomi.

"Saya bilang, Sri Mulyani juga bilang, yang paling penting adalah regulator bisa catch up, bisa mengejar inovasi yang sedang terjadi," ungkap Chatib ketika ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (21/2/2018).

Dia mengatakan, sebuah regulasi yang belum lama dikeluarkan bisa saja usang dalam waktu singkat karena munculnya inovasi baru. Oleh karena itu, Chatib Basri menekankan agar birokrasi menjadi lebih agile.

Selain itu, Chatib Basri juga menyarankan agar birokrasi atau pemerintah lebih mengatur ke hal yang bersifat prinsip. Menurutnya, akan menjadi sulit jika masih berkutat pada aturan yang terlalu rinci, karena itu akan terus berubah mengikuti waktu.

"Itu yang saya sebut berubah dari agree on rules kepada agree on principals," pungkas Chatib Basri.

Tonton Video Pilihan di Bawah Ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Maraknya Gerai Ritel Tutup Imbas Pendapatan Pekerja Ini Turun?

Beberapa gerai ritel di Indonesia tutup lantaran kinerja kurang memuaskan. Penutupan gerai ritel itu menimbulkan dugaan diakibatkan oleh transisi digital ekonomi lantaran belanja online yang dilakukan masyarakat meningkat.

Ekonom Universitas Indonesia M Chatib Basri, mencoba membedah masyarakat yang memanfaatkan fasilitas belanja online. Konsumen yang menggunakan fasilitas tersebut adalah kelas menengah ke atas, memiliki akses perbankan dan yang sudah melek teknologi.

Jika dilihat, saat ini dari seluruh masyarakat Indonesia baru 35 persen yang sudah menggunakan akses perbankan‎, sedangkan yang melek teknologi menggunakan ponsel pintar hanya pada kaum urban kelas menengah ke atas. Lantaran harga ponsel pintar baru bisa terjangkau kalangan tersebut.

"Kalau 65 persen belum punya akses bank, sehingga fenomena online hanya 35 persen.‎ Yang pakai smartphone dilihat dari demografinya muda, lokasi urban, tipikal income-nya middle upper," papar Chatib, ‎dalam 2017 Market Outlook Be A Game Changer In Digital Era, di Hotel Mulia, Jakarta, pada 26 Oktober 2017. 

Di sisi lain berdasarkan indeks yang dibuat pada 2014 menunjukkan, besaran pendapatan masyarakat menengah ke bawah khususnya yang berprofesi pada sektor riil yaitu pekerja konstruksi dan petani menurun padahal masyarakat tersebut yang menjadi konsumen dari ritel konvensional. Hal ini membuat konsumsi pada pasar ritel konvensional turun, sehingga berimbas pada penutupan gerai-gerai ritel konvensional.

"Itu membuat Matahari drop, harco drop yang konsumen biasanya menengah ke bawah," ucap Chatib.

Chatib mengakui, saat ini pertumbuhan ekonomi relatif stabil berada di level 5,1 persen. Meski jauh lebih rendah ketimbang sebelum 2014, akibat penurunan pertumbuhan komoditas dari 5,5 menjadi 5,1 persen.‎ Akan tetapi pertumbuhan tersebut bertahan karena meningkatnya pendapatan kalangan menengah ke atas, sementara untuk kalangan menengah ke bawah menurun.

"Yang saya bilang konsumsi betul bertahan di 5 persen, tapi bertahan di menengah ke atas tapi ke bawah mengalami penurunan,"‎ ujar Chatib.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.