Rasio utang Indonesia saat ini terbilang aman. Pemerintah selalu tepat waktu membayar utang luar negerinya yang jumlahnya lebih besar ketimbang dana untuk alokasi rakyat.
Dana untuk bayar utang 11% dari APBN, sedangkan sektor lain yang menaungi hidup rakyat cuma sebesar 7%.
Pengamat Ekonomi Indef, Ahmad Erani Yustika, mengatakan rasio utang Indonesia terhadap PDB memang tidak memiliki masalah bila dibandingkan negara lain.
Indonesia belum memasuki zona merah untuk menjadi negara gagal karena rasio utang tersebut masih di bawah 60 persen, di mana negara masuk kategori gagal membayar utang.
Utang Indonesia masih besar mencapai US$ 227,02 miliar setara Rp 2.191, 8 triliun dengan rasio terhadap growth domestic product (GDP) sebesar 24,8 persen, seperti dilansir the economist.
"Sebetulnya harus diapresiasi pemerintah berhasil, jumlah total utang makin kecil tapi pemerintah juga mesti jujur dan lihat utang bukan dari sisi PDB saja," kata dia saat berbincang dengan liputan6.com, Selasa (8/1/2013).
Dia menyebutkan dua hal yang patut diwaspadai pemerintah terkait dengan utang tersebut. Pertama, yakni Debt Service Ratio (DSR) yang saat ini sudah mencapai lampu kuning karena cicilan utang semakin naik, sementara ekspor nasional terus turun.
Adapun batas DSR maksimal 20 persen. DSR adalah jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor.
Kedua, pemerintah juga jangan semata melihat utang dari sisi rasio terhadap PDB, tetapi dari ruang gerak fiskal terhadadap struktur APBN. Saat ini cicilan utang dan bunga utang mencapai 11 persen dari total belanja pemerintah. Padahal sektor lain yang menaungi hidup rakyat hanya mencapai 7 persen.
"Itu sangat tidak menguntungkan untuk alokasi ke rakyat, jauh sekali perbedaannya. Saya kira ini jadi masalah, terkait dengan hal teknis utang kita itu," lanjutnya.
Dia kemudian menyarankan beberapa hal kepada pemerintah, yakni mengkaji ulang mekanisme defisit anggaran, jangan lebih dari 1 persen, dari saat ini 1,7 persen. Dengan demikian akan terjadi momentum desain anggaran berimbang.
Pemerintah juga diminta mulai mencari cara menaikkan pendapatan, misalkan dari pajak. Tax rasio pajak dan ketaatan pembayaran pajak di Indonesia dikatakan masih rendah.
Berikut catatan utang pemerintah pusat dan rasionya terhadap PDB dari tahun 2000 sampai 2012:
Tahun   Rasio Utang ke PDB
2000Â Â Â Rp 1.234,28 triliun (89%)
2001Â Â Â Rp 1.273,18 triliun (77%)
2002Â Â Â Rp 1.225,15 triliun (67%)
2003Â Â Â Rp 1.232,5 triliun (61%)
2004Â Â Â Rp 1.299,5 triliun (57%)
2005Â Â Â Rp 1.313,5 triliun (47%)
2006Â Â Â Rp 1.302,16 triliun (39%)
2007Â Â Â Rp 1.389,41 triliun (35%)
2008Â Â Â Rp 1.636,74 triliun (33%)
2009Â Â Â Rp 1.590,66 triliun (28%)
2010Â Â Â Rp 1.676,15 triliun (26%)
2011Â Â Â Rp 1.803,49 triliun (25%)
2012Â Â Â Rp Rp 2.191, 8 triliun (24,8%).
(NUR/IGW))
Dana untuk bayar utang 11% dari APBN, sedangkan sektor lain yang menaungi hidup rakyat cuma sebesar 7%.
Pengamat Ekonomi Indef, Ahmad Erani Yustika, mengatakan rasio utang Indonesia terhadap PDB memang tidak memiliki masalah bila dibandingkan negara lain.
Indonesia belum memasuki zona merah untuk menjadi negara gagal karena rasio utang tersebut masih di bawah 60 persen, di mana negara masuk kategori gagal membayar utang.
Utang Indonesia masih besar mencapai US$ 227,02 miliar setara Rp 2.191, 8 triliun dengan rasio terhadap growth domestic product (GDP) sebesar 24,8 persen, seperti dilansir the economist.
"Sebetulnya harus diapresiasi pemerintah berhasil, jumlah total utang makin kecil tapi pemerintah juga mesti jujur dan lihat utang bukan dari sisi PDB saja," kata dia saat berbincang dengan liputan6.com, Selasa (8/1/2013).
Dia menyebutkan dua hal yang patut diwaspadai pemerintah terkait dengan utang tersebut. Pertama, yakni Debt Service Ratio (DSR) yang saat ini sudah mencapai lampu kuning karena cicilan utang semakin naik, sementara ekspor nasional terus turun.
Adapun batas DSR maksimal 20 persen. DSR adalah jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor.
Kedua, pemerintah juga jangan semata melihat utang dari sisi rasio terhadap PDB, tetapi dari ruang gerak fiskal terhadadap struktur APBN. Saat ini cicilan utang dan bunga utang mencapai 11 persen dari total belanja pemerintah. Padahal sektor lain yang menaungi hidup rakyat hanya mencapai 7 persen.
"Itu sangat tidak menguntungkan untuk alokasi ke rakyat, jauh sekali perbedaannya. Saya kira ini jadi masalah, terkait dengan hal teknis utang kita itu," lanjutnya.
Dia kemudian menyarankan beberapa hal kepada pemerintah, yakni mengkaji ulang mekanisme defisit anggaran, jangan lebih dari 1 persen, dari saat ini 1,7 persen. Dengan demikian akan terjadi momentum desain anggaran berimbang.
Pemerintah juga diminta mulai mencari cara menaikkan pendapatan, misalkan dari pajak. Tax rasio pajak dan ketaatan pembayaran pajak di Indonesia dikatakan masih rendah.
Berikut catatan utang pemerintah pusat dan rasionya terhadap PDB dari tahun 2000 sampai 2012:
Tahun   Rasio Utang ke PDB
2000Â Â Â Rp 1.234,28 triliun (89%)
2001Â Â Â Rp 1.273,18 triliun (77%)
2002Â Â Â Rp 1.225,15 triliun (67%)
2003Â Â Â Rp 1.232,5 triliun (61%)
2004Â Â Â Rp 1.299,5 triliun (57%)
2005Â Â Â Rp 1.313,5 triliun (47%)
2006Â Â Â Rp 1.302,16 triliun (39%)
2007Â Â Â Rp 1.389,41 triliun (35%)
2008Â Â Â Rp 1.636,74 triliun (33%)
2009Â Â Â Rp 1.590,66 triliun (28%)
2010Â Â Â Rp 1.676,15 triliun (26%)
2011Â Â Â Rp 1.803,49 triliun (25%)
2012Â Â Â Rp Rp 2.191, 8 triliun (24,8%).
(NUR/IGW))
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.