Sukses

Redenominasi Rupiah Untungkan yang Kaya, Bikin Repot si Miskin

Penyederhanaan nilai mata uang rupiah atau redenominasi rupiah dinilai hanya akan menguntungkan orang kaya, tapi merepotkan masyarakat menengah ke bawah. Kenapa?

Penyederhanaan nilai mata uang rupiah atau redenominasi rupiah dinilai hanya akan menguntungkan orang kaya, tapi merepotkan masyarakat menengah ke bawah. Kenapa?

Menurut Ekonom Rizal Ramli, bagi masyarakat awam, redenominasi merupakan istilah baru yang membingungkan.  Di mana dalam praktiknya istilah ini nyaris sama dengan upaya pemotongan mata uang (sanering). Padahal jauh berbeda.

"Menerbitkan uang baru Rp 1 yang nilainya sama dengan Rp 1.000 saat ini, pada praktiknya dapat mendorong inflasi," ujar Rizal saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR RI, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (28/1/2013).

Hal itu disebabkan kebijakan ini bisa menggerus daya beli golongan menengah ke bawah. Karena akan terpotong dengan adanya kenaikan harga-harga setelah mata uang diterbitkan.

"Misalnya, untuk sebungkus kacang goreng harga Rp 800 saat ini, kelak dengan uang baru harganya akan disesuaikan menjadi Rp 1 baru, yang ini sama saja artinya menaikkan harganya sebesar Rp 200 mata uang sekarang. Jadi inflasinya yang akan dipaksakan, inilah yang terjadi serentak setelah pemberlakuan redenominasi," papar dia.

Sementara bagi golongan masyarakat menengah ke atas, rupiah baru memang membuat mereka lebih nyaman. Mereka bisa membawa uang tunai Rp 10 juta saat ini, menjadi hanya Rp 10 ribu uang baru atau hanya 10 lembar pecahan Rp 1.000 baru. Pertanyaannya, berapa persen orang Indonesia yang dikantongnya ada uang tunai Rp 10 juta per hari?

Persentasenya sangat kecil, kurang dari 0,5% penduduk Indonesia.  Inilah yang dipertanyakan Rizal Ramli, kenapa pemerintah bisa merancang kebijakan baru hanya untuk menyenangkan 0,5% orang paling kaya di Indonesia. Sementara pada saat  bersamaan, kebijakan itu justru akan menguras daya beli mayoritas rakyat Indonesia.

Lagipula biasanya pemotongan nilai uang dilakukan ketika inflasi di satu negara sangat tinggi dan ekonomi sedang dalam krisis. Pemotongan uang terpaksa dilakukan untuk stabilisasi ekonomi.  Menurut dia, banyak negara Amerika Latin melakukan pemotongan uang dengan tujuan seperti itu.

"Kenapa di saat ekonomi Indonesia stabil, inflasi terkendali, kok tiba-tiba mau memotong uang? Sulit dipahami BI dan pemerintah tiba-tiba ngotot mau memotong uang yang kalau tidak hati-hati bisa menjadi sumber ketidakstabilan baru, sementara manfaatnya tidak jelas," paparnya

Padahal BI punya tugas yang jauh lebih penting, yaitu menurunkan net interest margin (selisih bunga kredit dan simpanan) yang kini paling tinggi di dunia 6%-7% sehingga bisa mengurangi daya saing produksi yang ada di Indonesia. (Dis/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.