Sukses

Ketergantungan Impor Pangan Bisa Picu Wabah Korupsi

Ketergantungan Indonesia terhadap sejumlah komoditas pangan impor tak hanya merugikan petani lokal yang tak bisa menikmati kenaikan harga komoditas. Kondisi ini justru berpotensi besar memicu korupsi.

Ketergantungan Indonesia terhadap sejumlah komoditas pangan impor tak hanya merugikan petani lokal yang tak bisa menikmati kenaikan harga komoditas. Kondisi ini justru  berpotensi besar memunculkan praktik korupsi.

Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Eny Sri Hartati, menduga impor komoditas bahan makanan diduga menjadi modus baru dalam praktik korupsi. "Modus korupsi baru ini sukses berpotensi di-copypaste," ujarnya usai diskusi INDEF tentang Defisit Ganda dan Inflasi, di Jakarta, Selasa (9/4//2013).

Eny menilai, impor bahan makanan tak hanya memicu munculnya praktik korupsi namun mendorong pemerintah menggelontorkan uang lebih banyak. Akibatnya, laju inflasi yang makin besar tak bisa dihindari.

Sepanjang Januari-Maret 2013, bahan makanan menjadi komoditas yang menyumbang inflasi terbesar, yakni sebesar 80,95% dari total inflasi, atau 2,04%. "Bahan makanan kita alami kenaikan luar biasa, apalagi sayur dan buah," kata Eny.

Tapi anehnya, lanjut Eny, kenaikan harga komoditas tersebut nyatanya tidak mampu mendorong perbaikan nilai tukar petani, bahkan malah menurun. "Bagaimana mungkin kenaikan bahan makanan, justru menyebabkan sengsara petani. Ini sebuah anomali lagi. Sulit diterima akal sehat," katanya.

Hal tersebut mungkin saja terjadi, melihat kenaikan harga terjadi pada komoditas pangan impor, bukan pada produk yang dihasilkan di dalam negeri.

Sementara itu, Ketua LP3E Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Ina Primiana, yang juga hadir dalam diskusi tersebut, menyayangkan inflasi bawang merah yang seharusnya tak perlu terjadi.

Ke depan, Kadin merekomendasi kepada pemerintah untuk memperbaiki rantai nilai dari produk impor. Langkah ini untuk memastikan produk mana yang harus diimpor, jumlah kuota serta lamanya impornya.  (Est/Shd)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini