Sukses

Beban Merpati Makin Berat Setelah Musibah Kecelakaan di Kupang

Musibah hard landing pesawat Merpati di Bandara Kupang menambah beban PT Merpati Nusantara Airlines. Pemerintah diminta tak lepas tangan.

Musibah hard landing yang menimpa salah satu pesawatnya, jenis MA 60 Registrasi PK-MZO dengan nomor penerbangan  MZ 6517, di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Senin 10 Juni lalu, diyakini akan menambah beban PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) atau Merpati semakin berat.

Meski kerugian dari kecelakaan tersebut  ditanggung pihak asuransi, hal tersebut tak akan dapat segera mendatangkan armada baru. Jumlah armadaMerpati MA 60 terus berkurang. Saat ini pesawat jenis MA 60  yang layak terbang kurang dari 10.

Sementara jumlah ideal pesawat MA 60 yang harus dimiliki Merpati agar dapat menutupi biaya operasi sekaligus melayani berbagai macam rute penerbangan setidaknya 15 pesawat.

Untuk itu pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Keuangan, harus serius dan segera membantu manajemen PT Merpati Nusantara Airlines.

Jika tidak segera dibantu, beban Merpati akan semakin berat, dan perlahan lahan Merpati akan bangkrut. Jika Merpati bangkrut alias tutup, pemerintah diyakini mengalami kerugian yang lebih besar.

Hal tersebut disampaikan salah seorang peneliti  Public Trust Institute (PTI), Agung Astari Kiemas dalam acara diskusi mingguan  PTI Minggu (16/6/2013) di Jakarta. Diskusi tersebut mengambil tema, 'Nasib dan Masa Depan Merpati Pasca Kecelakaan MA 60 di El Tari Kupang'.

"Pemerintah harus segera membantu Maskapai penerbangan Merpati, baik lewat percepatan penyertaan modal negara (PMN) maupun dengan cara lain. Pemerintah harus menyelamatkan Merpati. Sebab biaya penyelamatan akan lebih efisien dibandingkan pemerintah membiarkan Merpati Bangkrut lalu menanggung nasib ribuan karyawan dan membayar utang-utang Merpati," papar Agung Astari Kiemas.

Lebih lanjut Agung menjelaskan, pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian BUMN dan Kementerian keuangan harus serius mempertahankan keberadaan maskapai penerbangan nasional plat merah, Merpati.

Selain memiliki jumlah karyawan yang lebih dari 2000 orang, selama ini Merpati berperan penting dalam menjembatani daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia khususnya Indonesia bagian Timur.

Membiarkan Merpati tutup, selain merugikan masyarakat wilayah pedalaman yang sangat bergantung pada Merpati, juga akan memberikan contoh tidak baik kepada perusahaan perusahaan lain. Karena bila menghadapi masalah, pemerintah akan mengambil jalan pintas, tutup dan menelantarkan nasib karyawannya.

"Hasil kajian kami  dalam beberapa bulan terakhir, manajemen  Merpati saat ini sudah berada di track atau jalur yang benar. Banyak  perbaikan manajemen yang telah dilakukan direksi. Hal ini berakibat pada tumbuhnya kepercayaan dari pihak lain seperti PT Pos Indonesia, institusi perbankan, serta  berbagai investor yang ingin  menjalin kerjasama dengan Merpati.  Karena itu, pemerintah harus membantu manajemen Merpati mempertahankan dan memperbaiki kinerja Merpati," kata Agung Astari Kiemas.

Agung Astari Kiemas menjelaskan, permasalahan yang melilit Merpati tidak dapat ditimpakan seluruhnya kepada manajemen maupun Direksi Merpati saat ini untuk segera diselesaikan.

Mengingat permasalahan yang ada saat ini merupakan akumulasi dari permasalahan-permasalahan manajemen sebelumnya, sejak zaman pemerintahan Orde Baru. Permasalahan yang paling dominan yang dihadapi Merpati saat ini adalah persoalan modal kerja dan utangnya yang menumpuk mencapai Rp 6 triliun lebih. Permasalahan tersebut akan semakin berat dengan kecelakaan yang menimpa salah satu pesawat MA 60 MZO pada Senin 10 Juni 2013 di El Tari Kupang.

"Sehebat apapun Presiden Direktur Merpati, jika harus menyelesaikan atau melunasi utang yang mencapai triliunan rupiah dalam waktu 5 tahun, pasti akan kesulitan. Karena utang-utang tersebut merupakan warisan dari zaman dahulu. Untuk itu, jika pemerintah ingin menyelamatkan dan memang harus diselamatkan, maka pemerintah harus segera campur tangan untuk menyelesaikannya," tegas Agung Astari Kiemas.

Alumnus dari Queen Margaret University, Edinburgh Scotland, Inggris ini  menambahkan, jika pemerintah menyelamatkan Merpati, otomatis pemerintah menyelamatkan keberadaan karyawan Merpati yang jumlahnya mencapai lebih dari 2000 orang dari bahaya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Jika pemerintah membiarkan Merpati tutup, itu sama artinya pemerintah membiarkan karyawan Merpati yang terdidik, terlatih dan terampil, kehilangan mata pencaharian dan tempat kerjanya.

"Untuk menyelamatkan dua ribuan tenaga terdidik dan terlatih agar tidak kehilangan tempat kerjanya, pemerintah harus serius mempertahankan dan menyehatkan Merpati. Hanya pemerintah yang dapat membantu Merpati lewat penyuntikan dana," jelas Agung.

"Sebaliknya jika pemerintah membiarkan Merpati tutup, pemerintah harus membayar uang pesangon karyawan dan melunasi utang-utang Merpati. Berarti biaya penutupan jauh lebih besar dibandingkan biaya menyehatkan Merpati," pungkas Agung. (Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini