Sukses

Pedagang Kaki Lima Resmi Tidak Kena Pajak UKM

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Juni 2013 menerbitkan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Juni 2013 menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Aturan ini mengenakan pajak bagi usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun dikenakan pajak sebesar 1% terhitung 1 Juli 2013.

Namun, terdapat pengecualiaan bagi pedagang kaki lima yang tidak termasuk Wajib Pajak (WP) orang pribadi yang dikenakan pajak penghasilan bersifat final dari peredaran bruto usaha dengan batasan Rp 4,8 miliar tersebut.

"Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya, yakni menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun yang tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, atau yang lebih dikenal dengan pedagang kaki lima," bunyi aturan mengutip situs resmi Sekretaris Kabinet di Jakarta, Selasa (2/7/2013).

Selain itu, Wajib Pajak badan yang tidak termasuk dalam ketentuan ini, yakni Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial dan Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial peredaran bruto melebihi Rp 4,8 miliar.

Aturan ini diambil untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, pemerintah mengenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Disebutkan dalam PP itu, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria pertama Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap dan kedua menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun.

“Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud adalah 1%, didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam satu tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan,” bunyi Pasal 3 Ayat (1,2) PP tersebut.

Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi Rp 4,8 miliar dalam suatu Tahun Pajak, maka Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.

“Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp 4,8 miliar pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan,” tegas Pasal 3 Ayat (4) PP No. 46/2013 itu.

Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan itu tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. (Pew/Nur)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.