Sukses

Wawancara Khusus Dahlan Iskan (3): Outsourcing yang Bikin Pusing

Gaji pegawai BUMN besar-besar, dan sayangnya gaji besar dan militansi kerja tidak ada hubungannya.

Akhir-akhir ini, kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beberapa kali didemo buruh. Salah satu tuntutan buruh adalah segera menghapus tenaga alihdaya (outsourcing) di BUMN dan mengangkatnya menjadi karyawan tetap.

Menteri BUMN Dahlan Iskan mengaku dirinya terus memutar otak untuk mencari solusi demi memperbaiki sistem outsourcing di BUMN.

Dia mengaku beruntung pernah menjadi Dirut PLN, sebuah BUMN yang juga banyak menggunakan outsourcing sehingga dirinya tidak perlu lagi mempelajari apa yang sebenarnya terjadi.

Dari hasil pengamatannya, pemilik Grup Jawa Pos ini menilai persoalan utama outsourcing yaitu perasaan gelisah dari karyawan akan ketidakpastian apakah tahun depan masih dipakai lagi atau tidak. Tentu soal besar-kecilnya gaji juga masalah, namun yang utama adalah ketidakpastian itu.

Persoalan lainnya adalah status. Mereka menginginkan status kekaryawanan yang jelas. Bukan sekadar menjadi tenaga cabutan.

Lalu langkah apa saja yang akan dan telah diambil Dahlan dalam menyelesaikan masalah outsourcing di BUMN?

Ditemui Nurseffi Dwi Wahyuni dari Liputan6.com, Dahlan mencurahkan pemikirannya soal nasib tenaga outsourcing di BUMN. Berikut petikan hasil wawancaranya seperti ditulis Rabu (10/7/2013):

Apa benar BUMN di Indonesia tidak efisien dari sisi karyawan alias terlalu banyak karyawannya?

Memang ada beberapa kasus begitu. Gaji BUMN besar-besar, dan sayangnya gaji besar dan militansi kerja tidak ada hubungannya. Waktu saya di swasta mau naikin gaji mau fasilitas mobil ke karyawan saya tidak pernah bilang gaji kamu naik, kerja lebih baik ya. Karena itu tidak ada hubungan. Karena dia memang baik, dia dapat mobil karena dapat mobil.

Jumlah karyawan BUMN perlu dikurangi atau bagaimana?

Banyak yang harus dikurangi tapi kita tidak bisa begitu saja karena itu kan kehidupan orang. Nanti kalau gejolak kan kita juga yang rugi sehingga yang penting begini, kaya PT Pos Indonesia dari segi ilmiah pasti kelebihan tenaga kerja, tapi kelebihan dan tidak kelebihan tergantung dilihatnya dari mana.

Misalnya, dia kelebihan tenaga kerja karena omzetnya Rp 50 triliun. Tapi kalau omzetnya bisa Rp 100 triliun, itu tidak kelebihan karyawan sehingga upaya yang dilakukan tambah omzet dan kegiatan lebih besar.

Sampai saat ini masalah tenaga outsourcing BUMN belum terpecahkan, bahkan ada demo segala, apakah benar nantinya BUMN tidak lagi pakai tenaga outsourcing?

Saya sepenuhnya serahkan kepada masing-masing korporasi karena itu peristiwa korporasi tidak harus menteri turun tangan. Saya sampaikan bahwa ada yang outsourcing itu harus diperbaiki. Outsourcing itu ada dua, pertama masalah eksistensi outsourcing, mengapa ada outsourcing, kedua outsourcing itu tidak ada jaminan.

Saya lebih cenderung tidak bicara soal eksistensi, tapi perlakuan terhadap outsourcing. Saya pengalaman ini di PLN, inti dari outsourcing itu satu gaji kecil. Tapi ada yang lebih inti persoalan lagi yaitu perasaan tidak adil.

Yang nomor tiga yaitu keamanan kelangsungan pekerjaan. Kalau gaji itu relatif karena outsourcing Bank BRI, dibanding outsourcing di perusahaan swasta di pabrik sepatu itu lebih besar yang di BRI, bukan bandinganlah. Jadi soal gaji itu relatif.

Lalu apa yang paling mendasar?

Sekarang itu perasaan ketidakadilan. Banyak kasus, mereka ini kan bekerja dengan karyawan tetap di kantor sama, mereka juga lihat, si A itu karyawan tetap, gajinya sekian,  saya outsourcing gaji saya sekian, tapi kok kerjanya gitu-gitu saja. Kok kita kerja lebih keras bahkan kita disuruh-suruh, mereka tahu, mereka merasakan sehingga perasaan itu yang harus diselesaikan.

Solusinya apa?

Diselesaikannya ada dua, pertama yang bersangkutan harus dapat perlakuan lebih baik, kedua orang yang karyawan tetap ini itu juga harus menyadari dia harus kerja lebih keras.

Jangan karena karyawan tetap terus ngerasa kelasnya lebih tinggi, terus berhak menyuruh-menyuruh yang outsourcing karena merasa ini kelas biru, ini kelas merah. Kalau yang satu lagi masalah jaminan keamanan kelangsungan pekerjaan.

Saya sudah putuskan supaya masing-masing BUMN memperbaiki secara mendasar. Misalnya kontrak outsourcing itu biasanya satu tahun. Tiap tahun tender perusahaan outsourcing. Saya minta minimal 5 tahun, yang bisa otomatis diperpanjang beberapa kali, lima tahun, lima tahun sehingga praktis 15 tahun sehingga ada kepastian mereka bisa bekerja dalam jangka yang cukup panjang.

Itu dampaknya ke perusahaan baik. Misalnya dulu waktu saya di PLN, outsourcing untuk pemangkasan pohon yang ganggu mati lampu yang ganggu jaringan, itu satu tahun, sehingga tahun depan harus tender lagi, perusahaan mana yang akan dipilih.

Karena seperti itu, akhirnya perusahaan outsourcing-pun tidak mau beli peralatan yang baik karena belum tentu menang tender lagi. Saya kira dengan ide dari saya itu lumayan. Mereka sepakat untuk jalankan

BUMN apa yang terbanyak dan paling sedikit tenaga outsourcingnya?
Mungkin PLN 50 ribu orang, di BRI 40 ribu orang, Bank Mandiri kurang lebih sama. PT Pos Indonesia juga.

Ke depan mungkin diangkat?

Saya usulkan dibentuk saja anak perusahan yang khusus tangani bergerak di bidang outsourcing, sehingga misalnya kontraknya antara BRI dan anak usaha BRI. Mereka yang kerja di anak usaha BRI ini statusnya harus karyawan.

Mereka berkarier di situ. Anak usaha juga bisa investasi seperti apa. Tapi ada beberapa yang tidak bisa penyadap karet, pemetik daun teh karena sifatnya borongan.

Apakah di luar negeri juga terjadi praktik penggunaan tenaga outsourcing di perusahaan milik negara?

Tidak tahu saya. Masing-masing punya model sendiri,  ada yang model Prancis, Malaysia dan Singapura. Tapi tidak semua negara punya BUMN.

(Ndw/*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.