Sukses

Seperti Rokok, Bir Bakal Pakai Pita Cukai

Ditjen Bea Cukai akan mengubah struktur tarif cukai pada minuman beralkohol golongan A dengan melekatkan pita cukai.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan berencana mengubah struktur tarif cukai pada minuman mengandung etil alkohol (MMEA) golongan A dengan melekatkan pita cukai dari kebijakan sebelumnya sistem pelunasan tunai.

Minuman keras golongan A berkadar etanol sebesar 1%-5% dengan contoh Bir Bintang, Green Sand, Anker Bir, San Miguel dan lainnya. Sedangkan minuman keras golongan B dan C masing-masing memiliki kadar alkohol 5%-20% dan 20% hingga 55%.

"Kami ingin merubah kebijakan cukai dari yang awalnya pelunasan menjadi pelekatan pita seperti rokok," ungkap Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Susiwiyono di Jakarta, Rabu (25/9/2013) malam.

Selama ini, lebih jauh dia mengatakan, perhitungan cukai bir berdasarkan laporan jumlah produksi minuman beralkohol golongan A di pabrik, sehingga bir bukan merupakan produk yang dieri label pita cukai.

"Masalahnya adalah pengenaan (cukai alkohol dengan pelunasan) dianggap belum optimal karena nilai cukainya baru sekitar Rp 3,5 triliun-Rp 4,5 triliun," tutur dia.   

Rencana perubahan kebijakan cukai minuman beralkohol golongan A, kata Susiwiyono sedang dikaji atas permintaan Menteri Keuangan Chatib Basri.

"Kenapa pakai pita cukai? Karena kalau rokok bisa kelihatan ini palsu, ini yang bayar cukai atau ini yang tidak. Sedangkan kalau bir selama ini bayar pakai laporan produksi," jelas dia.

Meski tak menyebut secara pasti potensi penerimaan cukai dari langkah ini, namun dia mengatakan kebijakan tersebut pasti akan mendapat tantangan dari industri bur sendiri.

"Paling dibilang tidak mungkin bir dilekati pita cukai seperti rokok. Tapi kan teknologi sekarang canggih, misalnya pakai digital, barcode atau apapun lah," ujarnya.

Terpenting bagi DJBC, disebutkan Susiwiyono, supaya pihaknya dapat membedakan mana minuman alkohol yang sudah bayar atau belum sehingga ini bisa menjadi satu mekanisme kontrol yang tepat.

"Konsumsi minuman di Indonesia masih sangat tinggi, tapi negara kita kan berbeda dengan negara lain. Praktiknya di negara lain bisa 5%-10% hanya dengan merubah kebijakannya. Ini menjadi instrumen secara fisik yang mengontrol seperti rokok," pungkas Susiwiyono. (Fik/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.