Sukses

Negara-negara Berkembang Selalu Kompak Soal Mata Uang

Jika satu mata uang negara berkembang ambruk, maka nilai tukar mata uang di sejumlah lainnya juga akan ikut terpuruk.

Chief Information Officer (CIO) Global di perusahaan manajemen keuangan, Fidelity, Dominic Rossi mengibaratkan gejolak pelemahan mata uang di negara-negara berkembang seperti halnya menonton film lama.

Sejak dulu, jika satu mata uang negara berkembang ambruk, maka nilai tukar mata uang di sejumlah lainnya juga akan ikut terpuruk.

"Kami sudah melihat adegan ini sebelumnya. Satu per satu pasar keuangan negara berkembang melemah mengikuti negara berkembang lainnya. Yang melemah paling parah pertama kali, Argentina dan Turki, lalu disusul Brasil, Rusia dan lainnya," papar Rossi seperti dikutip dari CNBC, Selasa (28/1/2014).

Negara-negara berkembang telah lama memperoleh guyuran dana besar yang disediakan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).

Ironisnya, dengan keputusan The Fed menarik dana stimulusnya, aliran cadangan devisa dan mata uang di sejumlah negara berkembang yang tercatat memiliki masalah perekonomian dan politik yang pelik mulai tenggelam, khususnya Argentina dan Turki.

Perilaku para investor menyikapi kondisi semacam ini tak banyak berubah sejak krisis ekonomi global. Padahal banyak negara berkembang saat ini memiliki mata uang yang lebih fleksibel.

Selain itu, negara-negara berkembang juga tercatat mengantongi cadangan devisa hingga triliunan dolar AS.

Akan tetapi, menurut Rossi, terdapat tiga alasan utama mengapa negara-negara berkembang selalu menderita akibat penarikan dana asing ke luar negeri sejak 1990-an.

Alasan pertama, adalah berkurangnya jumlah dana asing yang mengalir ke negara-negara berkembang selama sepuluh tahun terakhir. Mengecilnya dana tersebut hanya akan membangkitkan kembali kepanikan 15 tahun lalu.

Kedua, pinjaman yang mengalir ke negara-negara berkembang semakin meningkat melalui pasar-pasar obligasi. Sebelumnya, kredit-kredit langsung dari bank mendominasi dana masuk ke negara-negara berkembang. Tidak ada lagi hubungan kerjasama langsung antar negara, bank, dan perusahaan.

Yang terakhir, kehadiran indeks Exchange Traded Funds (ETF) dalam sepuluh tahun terakhir dianggap telah mengurangi kendali masuknya dana asing ke negara berkembang. Akibatnya, negara-negara tersebut semakin rentan terhadap penarikan dana asing secara beruntun.

CEO Goldman Sachs Llyod Blankfein mengungkapkan, untuk mentransformasi negara berkembang di bidang keuangan termasuk peringkat kredit, neraca keuangan dan infrastruktur, para investor masih harus membenamkan modalnya di negara tersebut bersama-sama saat banyak dana asing ditarik keluar.

Blankfein mengatakan, orang-orang yang dengan hati-hati hanya berinvestasi di satu bidang saat memasukan dananya ke suatu negara tak akan terlalu merugi ketika harus menarik modalnya keluar.

"Saat waktunya sedang baik, negara-negara berkembang tampak seperti bisnis kredit, masing-masing. Tetapi saat kondisi pasar memburuk, lupakan nama masing-masing negara. Itu merupakan ajang makro berdampak besar. Tak ada perbedaan, semuanya sama-sama negara berkembang," tandas dia. (Sis/Nrm)

Baca juga

BI Rate Cetak Rekor Tertinggi di Muka Bumi

Ambruk 114 Poin, IHSG Terlempar dari Level 4.400

Rupiah Kembali Terpeleset ke Level 12.200/US$

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini