Sukses

5 Saham yang Harganya Jungkir Balik

Pergerakan harga saham di pasar modal dipengaruhi sejumlah sentimen mulai dari fundamental, teknikal dan psikologis.

Liputan6.com, Jakarta - Berinvestasi di pasar saham memang belum menjadi tempat utama di masyarakat Indonesia. Hal itu karena pemahaman dan edukasi masyarakat masih minim terhadap investasi saham. Apalagi mengingat pergerakan harga saham yang fluktuaktif di pasar modal.

Fluktuaktif harga saham itu membuat pelaku pasar modal deg-degan. Gerak harga saham suatu emiten dapat menggiurkan pelaku pasar tetapi juga dapat membuat pelaku pasar menangis bila harga sahamnya jatuh signifikan.

Sejumlah faktor yang mempengaruhi gerak harga saham tersebut mulai dari fundamental, teknikal dan psikologis. Bahkan suatu saham dapat melonjak signifikan tanpa fundamental baik. Sebaliknya emiten dengan laporan kinerja baik harga sahamnya belum tentu naik signifikan.

Selain itu, ada juga pihak atau spekulan yang memanfaatkan pergerakan harga saham untuk keuntungan sejumlah pihak. Nah investor ritel di pasar modal Indonesia yang cenderung ikut-ikutan bisa saja terkena dampak dari ulah spekulan itu. Jadinya gerak saham tersebut seperti roller coaster. Bila Anda tidak pandai-pandai memilih saham untuk investasi maka berinvestasi di saham dapat merugikan.

Kepala Riset PT Universal Broker Securities, Satrio Utomo mengungkapkan, volatilitas saham itu didorong dari likuiditas pasar. Investor sebaiknya mengetahui dulu perbedaan trading dan investasi saham. Dengan pemahaman itu diharapkan dapat terhindar dari kerugian besar.

"Kalau pelaku pasar itu ingin investasi jangka panjang maka akan memiliki fundamental yang bagus. Bila trading harian saham maka itu tergantung dari strategi yang dilakukan pelaku pasar," tutur Satrio.

Berikut lima saham yang sempat membuai pelaku pasar karena harga sahamnya naik dan turun signifikan dalam kurun waktu 2011-2013:

1. PT Garda Tujuh Buana Tbk (GTBO)

Emiten batu bara ini paling menyita perhatian pelaku pasar modal. Hal itu lantaran pergerakan harga saham GTBO memang mencengangkan. Ketika melakukan penawaran saham perdana/initial public offering (IPO), saham GTBO dipatok Rp 115 per saham.

Emiten batu bara yang melakukan pencatatan saham perdana 9 Juli 2009 ini membukukan harga saham tertingginya di kisaran Rp 7.300 per saham pada 17 September 2012.  Lalu harga saham GTBO berada di level terendahnya pada 12 April 2011 di kisaran Rp 59 per saham. Harga saham GTBO ditutup melemah 4,32 persen ke level Rp 266 per saham pada perdagangan saham Kamis 12 Juni 2014.

Menurut Kepala Riset PT Universal Broker Securities, Satrio Utomo, aksi korporasi yang dikira bagus oleh pelaku pasar malah dibatalkan sehingga membuat pelaku pasar terpancing untuk membeli saham GTBO. Padahal emiten ini memiliki masalah di laporan keuangan terutama soal transaksi kontrak batu bara, kepemilikan saham dan tata kelola perusahaan yang kurang baik.

Meski demikian, Satrio menilai, Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak tegas dalam memberikan sanksi kepada manajemen GTBO terkait tata kelola perusahaan yang kurang baik dan laporan keuangan bermasalah. "Dari bursa dan OJK tidak memberikan hukuman berat untuk emiten ini. Hal ini memicu perusahaan baru yang tercatat di bursa dapat melakukan hal sama," kata Satrio.

2. PT Bumi Resources Tbk (BUMI)

Emiten batu bara milik grup Bakrie ini memang tak sepi dari aksi korporasi. Perseroan ini aktif melakukan akuisisi tetapi tidak memperhitungkan kemampuan keuangan. Saham BUMI pernah mendapat julukan saham sejuta umat di pasar modal.

Berdasarkan data RTI, dalam kurun waktu tiga tahun sejak 2011, saham BUMI sempat berada di level tertinggi Rp 3.650 pada 5 Mei 2011. Saham ini berada di level terendah Rp 187 per saham pada 16 April 2014. Jadi saham BUMI turun sekitar 94,06%.

Satrio mengatakan, BUMI memiliki masalah soal pengelolaan utangnya. Ditambah aksi akrobatik dari aksi korporasi BUMI yang menekan sahamnya. Harga saham batu bara cenderung turun dalam beberapa tahun ini juga menambah tekanan untuk saham BUMI.

Pada penutupan perdagangan saham Kamis 12 Juni 2014, saham BUMI turun 0,52 persen menjadi Rp 193 per saham.
Berdasarkan data BEI, pemegang saham BUMI antara lain Credit Suisse AG SG sebesar 23,09 persen, Raiffeisen Bank International AG sebesar 6,09 persen, dan publik yang memiliki saham kurang dari 5 persen sebesar 70,82 persen.

3. PT Krakatau Steel Tbk (KRAS)

Penawaran saham perdana perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu menarik perhatian publik. Salah satunya penawaran saham perdana/initial public offering (IPO) KRAS pada 2010. Harga saham IPO KRAS dipatok Rp 850 per saham.

Pada saat itu, harga saham IPO ini mendapat perhatian publik karena harga saham yang ditawarkan dinilai murah di tengah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sedang positif pada 2010. Saat itu, IHSG bergerak di kisaran 2.813-3.786.

Saham KRAS sempat menyentuh level tertinggi di kisaran Rp 1.520 dan level terendahnya Rp 950 per saham pada November 2010. Pada kurun waktu 2011-2013, saham KRAS menyentuh level tertinggi Rp 1.270 per saham, dan level terendahnya Rp 430 per saham pada 11 Juli 2013.

Pada perdagangan saham Kamis 12 Juni 2014, saham KRAS turun 0,43 persen menjadi Rp 468 per saham.
Satrio menilai, harga saham KRAS yang cenderung di bawah Rp 1.000 dikarenakan faktor fundamental. Hal itu harga baja belum membaik. Berdasarkan laporan keuangan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), perseroan mengalami rugi US$ 46,43 juta hingga kuartal I 2014 dari sebelumnya untung US$ 9,09 juta. Pendapatan perseroan turun 34 persen menjadi US$ 459,49 juta sepanjang kuartal I 2014.

4. PT Bakrieland Development Tbk (ELTY)

Perusahaan properti milik grup Bakrie ini tercatat di pasar modal Indonesia pada 1995. Ketika itu harga saham IPOnya sekitar Rp 625 per saham.

Dalam kurun waktu 2011-2013, saham ELTY sempat menyentuh level tertinggi Rp 182 per saham pada 19 Mei 2011 dan level terendahnya Rp 50 pada 10 Agustus 2014. Saham ELTY cenderung tetap di kisaran Rp 50 per saham.

Berdasarkan laporan ke BEI, pemegang saham perseroan antara lain CGMI  Client Safekeeping sebesar 10,41 persen, PT Asuransi Jiwa Sinarmas sebesar 6,32 persen, dan publik kurang dari lima persen sebesar 83,28 persen.

5. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA)

Emiten penerbangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mencatatkan saham di pasar modal Indonesia pada 11 Februari 2011 ini juga menarik perhatian publik. Meski demikian, tak sekencang PT Krakatau Steel Tbk pada 2010.

Salah satu hal yang menjadi sorotan yaitu penetapan harga saham perdananya. Saat itu harga saham perdana PT Garuda Indonesia Tbk ditetapkan di kisaran Rp 750 per saham dinilai mahal ketika bursa saham Indonesia tengah fluktuaktif pada 2011.

Harga saham PT Garuda Indonesia Tbk sempat berada di level tertinggi Rp 780 per saham pada 17 Juli 2012, dan level terendahnya Rp 390 per saham pada 4 Oktober 2011. Kemungkinan harga saham GIAA melonjak itu ditopang setelah saham PT Garuda Indonesia Tbk milik Bahana dijual sekitar 931,03 juta saham kepada Trans Airways pada April 2012.

Pada penutupan perdagangan saham Kamis 12 Juni 2014, saham GIAA naik 0,23 persen ke level Rp 436 per saham.  (Ahm/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Bursa Efek Indonesia atau BEI adalah salah satu tempat yang memperjualbelikan saham, obligasi, dan sebagainya di Indonesia.

    BEI

  • Saham adalah hak yang dimiliki orang (pemegang saham) terhadap perusahaan berkat penyerahan bagian modal sehingga dianggap berbagai dalam pe

    Saham