Sukses

Dolar Menguat, Harga Minyak Sentuh Level US$ 50

Penguatan dolar dan produksi minyak Rusia serta ekspor Irak tinggi membuat harga minyak dunia merosot 5 persen.

Liputan6.com, New York - Mengawali pekan ini, harga minyak kembali jatuh ke level US$ 50 per barel untuk pertama kali selama lebih dari lima tahun terakhir seiring dolar Amerika Serikat (AS) menguat dan pasokan minyak kembali bertambah.

Harga minyak acuan West Texas Intermediate untuk pengiriman Februari terjun bebas US$ 2,65 (5 persen) menjadi US$ 50,04 per barel. Kontrak minyak ini sempat sentuh ke level US$ 49,95 per barel sejak awal perdagangan, dan merupakan level terendah sejak 1 Mei 2009.
Sementara itu, harga minyak Brent untuk pengiriman Februari turun US$ 3,31 menjadi US$ 53,11 per barel di London.

Harga minyak tertekan di awal pekan ini dipicu kenaikan produksi minyak dari Rusia dan Irak. Padahal sejumlah pihak memprediksi permintaan minyak melemah seiring pertumbuhan ekonomi global turun.

Level harga minyak US$ 50 merupakan level harga penting, dan dapat mendorong turbulensi untuk pasar keuangan global. Bursa saham AS saja turun hampir 2 persen, dan bursa saham Eropa tertekan karena euro melemah ke level terendah dalam sembilan tahun.

Dolar menguat, dengan naik 11 persen pada tahun lalu terhadap mata uang utama juga menekan pasar minyak. Analis pun memprediksikan, harga minyak dapat kembali turun.

"Ini ada hal serius dengan harga minyak belum sentuh level terendah," ujar Kyle Cooper Managging Partner IAF Advisors seperti dikutip dari laman AFP, Selasa (6/1/2015).

Sementara itu, Analis Tradition Energy, Gene McGillian mengatakan, harga minyak mencoba stabil selama dua minggu, tetapi fundamental melemah.

Bahkan Analis Forex.com, Fawad Razaqzada menuturkan, harga minyak turun dapat memicu aksi jual sehingga harga minyak dapat sentuh di bawah level US$ 40.

Harga minyak semakin tertekan ini didorong dari produksi minyak AS meningkat sehingga mengejutkan pasar minyak global. Hal utu membawa AS bersaing dengan Rusia dan Arab Saudi. Di sisi lain, negara produsen minyak lainnya pun terus makin agresif.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi di Eropa, dan negara berkembang lainnya tidak pasti sehingga mempengaruhi permintaan minyak. (Ahm/)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.