Sukses

Goldman Pangkas Proyeksi, Harga Minyak Turun di bawah US$ 47

Goldman Sachs memangkas proyeksi harga minyak menambah tekanan untuk harga minyak di awal pekan ini.

Liputan6.com, New York - Harga minyak berjangka kembali tertekan di awal pekan ini dengan harga minyak acuan Amerika Serikat (AS) diperdagangkan di bawah US$ 46 per barel untuk pertama kali dalam enam tahun ini.

Goldman Sachs memangkas proyeksi minyak dengan harga kembali turun telah menekan harga minyak. Harga minyak West Texas Intermediate untuk pengiriman Februari turun 4,7 persen (US$ 2,29) menjadi US$ 46,07 per barel, dan usai perdagangan sekitar US$ 45,90. Level itu terendah sejak April 2009.

Harga minyak WTI telah turun lebih dari 57 persen sejak Juni 2014 yang sempat sentuh kisaran US$ 107,26 per barel.
Sementara itu, harga minyak Brent untuk pengiriman Februari merosot 5,4 persen (US$ 2,68) menjadi US$ 47,43 per barel, dan ini level terendah sejak Maret 2009.

Mengawali pekan ini, harga minyak kembali turun karena Goldman Sachs memangkas proyeksi harga minyak. Analis sektor saham energi merevisi prediksi harga minyak WTI dari US$ 70 per barel menjadi US$ 41 per barel.

Mereka melihat harga minyak WTI menjadi US$ 39 per barel dalam enam bulan ini dan US$ 65 sepanjang tahun. Sedangkan harga minyak Brent sentuh level US$ 42 dalam tiga bulan. Harga minyak naik tipis menjadi US$ 43 dalam enam bulan, dan sentuh level US$ 70 dalam setahun.

"Target harga minyak Brent US$ 50,40 hingga akhir tahun seperti Goldman Sachs melihat kalau banyak produksi minyak tidak dipangkas tahun ini. Dengan mempertimbangkan harga karena biaya sudah di bawah untuk produsen minyak, dan investasi US shale maka itu mengejutkan," ujar Craig Erlam, Strategist Alpari UK, seperti dikutip dari laman Marketwatch, Selasa (13/1/2015).

Tak hanya Goldman Sachs pangkas harga, Societe Generale juga memangkas proyeksi harga minyak Brent menjadi US$ 55 per barel pada 2015. Sedangkan harga minyak WTI menjadi US$ 51 per barel.

"Harga minyak tertekan ini karena permintaan melemah di pasar internasional, dan persediaan melimpah diharapkan dapat mengambil tempat di Amerika Serikat," kata Analis Citi Futures Timothy Evans. (Ahm/)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini