Sukses

Cukai Rokok Naik Disebut Kebijakan Tak Adil

Kenaikan cukai itu dianggap ambisius mengingat pendapatan dari cukai pada 2014 hanya sebesar Rp 112 triliun

Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan tarif cukai rokok terus menuai pro dan kontra. Salah satunya dari ekonom Aviliani yang mengkritik keputusan pemerintah yang akan menaikkan target penerimaan cukai industri berbasis tembakau pada 2015 ini menjadi sebesar Rp 141,7 triliun.

Kenaikan itu dianggap ambisius mengingat pendapatan dari cukai pada 2014 hanya sebesar Rp 112 triliun dari target yang dicanangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 sebesar Rp 116,28 triliun.

Dengan mematok target cukai rokok setinggi itu, Aviliani menilai pemerintah kurang cerdas dalam mencari celah pendapatan untuk negara. Sehingga lagi-lagi hanya cukai yang diotak-atik. Padahal target di tahun lalu saja tidak tercapai. 

"Cukai rokok dinaikkan dengan dalih paling gampang dan tidak elastis. Meski harga naik permintaan tidak turun. Jika seperti itu tidak fair, padahal pengusaha industri juga butuh kepastian," jelas dia, Rabu (4/2/2015).  

Pada tahun ini pemerintah menargetkan memungut cukai rokok sebesar Rp 141,7 triliun sesuai APBN Perubahan yang telah disepakati Badan Aggaran DPR RI dengan Pemerintah beberapa hari lalu.

Pada APBN 2015 atau versi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono target cukai rokok ditetapkan sebesar Rp 120 triliun.

Dengan target pendapatan dari cukai rokok sebesar Rp 141,7 triliun pada tahun ini, industri harus membayar cukai 27 persen lebih besar dari realisasi tahun lalu. Kenaikkan cukai sebesar itumerupakan kenaikan tarif cukai tertinggi sepanjang satu dekade ini.

Dengan kenaikan ini industri memastikan jumlah pabrik rokok bakal menyusut drastis. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun sudah di depan mata.

Akan lebih bermasalah jika kebijakan cukai itu tidak melibatkan industri. Padahal setiap kebijakan yang diambil, pemerintah wajib melakukan dengar pendapat dengan atau public hearingdengan industri. "Mesti ada. Itu yang belum dijalankan dengan baik oleh pemerintah," tegasnya.  

Ia menyarankan, akan lebih baik pemerintah melakukan eksentifikasi pajak. Pembayar pajak utama dari target 50 juta orang baru tercapai 25 juta dikejar dengan dibarengi kebijakan seperti sunset policy.

Di tempat terpisah,  Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengingatkan pemerintah soal dampak PHK atas kenaikan cukai. Pada 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12 persen, 10 ribu pekerja pabrik rokok kretek harus kehilangan pekerjaan.

Ismanu sepakat dengan Aviliani, sikap pemerintah yang tidak melibatkan industry dalam memutuskan kenaikkan cukai ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 39/2009 tentang Cukai. Padahal, Gappri melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan sudah memberikan pandangannya soal kenaikkan cukai ini dan dampaknya.

Catatan Gappri, pada 2009, masih beroperasi sebanyak 4.900 pabrik rokok. Namun jumlah itu terus menyusut. Saat ini industri rokok yang masih aktif kurang lebih tinggal 100 perusahaan. Dengan kenaikkan cukaisebesar itu, diperkirakan pabrik rokok bakal menyusut tinggal 60an perusahaan. “Kami berharap pemerintah mau mendengarkan kami," tandas dia.

 Beban industri juga makin berat karena di saat yang sama mereka harus membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang dipatok undang-undang sebesar 10% dari cukai yang dibayarkan industri. (Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini