Sukses

Ditjen Pajak: Menyandera Penunggak Pajak Bukan Bentuk Intimidasi

Ditjen Pajak engah getol melakukan upaya penyanderaan atau gijzeling terhadap penunggak pajak nakal.

Liputan6.com, Jakarta- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah getol melakukan upaya penyanderaan atau gijzeling terhadap penunggak pajak nakal. Namun Anggota Komisi XI DPR, Indah Kurnia, menilai langkah tersebut sebagai sebuah bentuk intimidasi kepada Wajib Pajak (WP).

"Terobosan seperti itu (gijzeling) jangan sampai membuat WP terpaksa membayar pajak, jadi seperti mengintimidasi. Buatlah WP menjadi mitra Ditjen Pajak," kata Indah di Gedung DPR, Jakarta, seperti ditulis Jumat (6/2/2015).

Politikus dari PDI Perjuangan ini mengatakan, upaya ekstensifikasi pajak di Indonesia dapat mencontoh negara Taiwan dengan konsep yang tidak memberatkan WP.

"Di Taiwan, saat ke restoran ramai-ramai ada permainan semacam lotre lomba makan. Tanpa disadari dia membayar pajak dari makanan itu. Jadi dibuat fun, jangan seperti diancam karena siapa tahu mereka bukan pengemplang pajak atau justru jadi korban," tegas Indah.

Dia mengimbau, agar Menteri Keuangan memikirkan cara tepat selain melakukan penyanderaan. "Kalau pemilik perusahaan disandera, ada ratusan bahkan ribuan pekerja menggantungkan nasib pada perusahaan itu. Jadi ini yang perlu dipikirkan," kata dia.

Saat dikonfirmasi terpisah, Pejabat Pengganti Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, Wahju K Tumakaka kepada Liputan6.com mengaku, penyanderaan atau gijzeling yang dilakukan berdasarkan Undang-undang (UU) yang berlaku.

UU yang mengaturnya, yakni Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000 Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.


"DJP hanya dapat melakukan segala sesuatu tindakan yang diatur UU, termasuk batasan-batasannya. Jadi bukan memaksa atau intimidasi, justru mengedukasi masyarakat bahwa menunggak pajak ada akibatnya," tegas Wahju.

Menurut dia, seorang penanggung pajak disandera dan masuk lapas apabila dalam jangka waktu tertentu tidak mengindahkan peringatan dari Ditjen Pajak untuk segera melunasi kewajiban. Sementara pihaknya melakukan gijzeling sesuai dengan ketentuan UU.  

Saat terbit surat ketetapan pajak, Wahju menceritakan, seorang PP bisa mengajukan keberatan selama satu tahun. Lalu naik tingkat banding dalam kurun waktu sama termasuk pengajuan ke Mahkamah Agung dengan tambahan waktu enam bulan. Sementara untuk proses penagihan rata-rata tiga bulan atau 21 hari.

"Jadi nggak ujuk-ujuk kita sandera. Sebelumnya sudah kita layangkan surat teguran, surat paksa, upaya penagihan, blokir rekening, pencekalan. Tapi karena tetap bandel, akhirnya kita gijzeling," tandas Wahju. (Fik/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.