Sukses

Kereta Cepat Batal, Indonesia Untung atau Rugi?

Pemerintah mengambil keputusan untuk menolak proposal kereta cepat rute Jakarta-Bandung dari Jepang dan China.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengambil keputusan untuk menolak proposal kereta cepat rute Jakarta-Bandung dari Jepang dan China. Penolakan ini beralasan karena dianggap tak efisien karena kecepatan 300 kilometer (km)/jam sulit tercapai.

Spekulasi pun muncul, penolakan akan berimbas pada hubungan perdagangan kedua negara.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi Universitas Padjajaran Ina Primiana mengaku tak terlalu khawatir jika penolakan proposal akan berimbas pada buruknya kerjasama di bidang perekonomian. Menurutnya, hal tersebut justru menguntungkan karena neraca perdagangan Indonesia terhadap dua negara kerap defisit.

"Untuk hubungan tergantung juga, kalau bisnis diputus tidak apa-apa toh selama ini hubungan dagang kita dengan dua negara itu rugi terus," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (4/9/2015).

Bahkan, pihaknya menegaskan dua negara itu penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan. "Terbesar dengan China, kedua Jepang," katanya.

Dia mengatakan, saat ini terlebih penting ialah harmonisasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Lantaran, selama ini pembangunan infratruktur kurang padu.

Lihat saja dalam proses pengambilan keputusan kereta cepat, dua kementerian yakni Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberi sinyal yang berbeda.

Menteri BUMN Rini Soemarno mengarah pada China dengan menunjuk PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) bersama konsorsium BUMN China. WIKA sendiri akan masuk dalam konsorsium dengan peruhaan pelat merah lain yakni PTPN VIII, INKA, LEN Industri, KAI, dan Jasa Marga.

Sebaliknya, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berkiblat pada Jepang dengan memberi tanda jika keselamatan adalah hal yang utama.

Ina menuturkan, hal tersebut menunjukan jika koordinasi dalam pemerintahan belum terjalin dengan baik.

"Iya, itu yang seharusnya dihindari, jadi jangan sampai ini hanya karena tarik menarik kepentingan. Murni karena hitung-hitungan bisnis. Hal ini memang menunjukkan pemerintah tidak satu suara. Kemenhub waktu itu juga terkait dengan pelabuhan Cilamaya merekomendasikan Jepang yang kenyataannya bertentangan dengan kepentingan nasional," jelas dia.

Terkait penolakan itu, Presiden RI Joko Widodo lebih memilih untuk membangun kereta dengan kecepatan sedang dengan kecepatan 200-250 kilometer (km) per jam dibanding membangun kereta cepat‎ yang mencapai kecepatan di atas 300 km/jam.

Namun, dalam poin pernyataan Presiden Jokowi yang diterima Liputan6.com, Jokowi menyatakan tetap akan mengembangkan kereta cepat namun tidak untuk rute Jakarta-Bandung. "Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan pengembangan High Speed Train (HST) Jakarta-Surabaya," kata Jokowi kemarin.

Dalam pernyataan tersebut, selain sedang mempersiapkan pengembangan HST Jakarta-Surabaya, pemerintah juga sedang mengembangkan jaringan kereta api luar Jawa.

Jokowi kembali menegaskan, dalam pembangunan kereta cepat atau kereta sedang tersebut pemerintah tidak menyediakan anggaran dalam bentuk apapun, termasuk berupa garansi proyek.

"Pembangunan tidak akan menggunakan APBN, baik langsung maupun tidak langsung. Pemerintah tidak akan menyediakan dana jaminan, dalam bentuk apapun. Kerja sama pembangunan dalam bentuk B2B," tutupnya. (Amd/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.