Sukses

Dorong Rupiah, BI Harus Intervensi Pasar Obligasi

Kebijakan BI saat ini masih pengetatan di pasar uang sehingga belum efektif menopang perekonomian nasional

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah yang sempat nyaris menyentuh 14.500 per dolar Amerika Serikat (AS) dituding sebagai sebuah kesengajaan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Ada kepentingan politik dan salah langkah dari regulator sehingga semakin menenggelamkan kurs rupiah.

Senator DPD RI, Abdul Azis Khafia berpendapat, pemerintah sengaja membiarkan kurs rupiah bergerak melemah menyongsong Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun depan. Di saat itulah, dikatakan dia, pemerintah akan datang bak sinterklas yang menolong rakyat miskin.

"Ada kebijakan jahat karena pemerintah sengaja membiarkan dolar tembus Rp 14.500, rakyat miskin, kondisi krisis. Dibiarkan dan tidak ada solusinya, lalu nanti ada segerombolan orang datang seperti sinterklas yang memberi bantuan sosial saat 2016. Ini kan jahat sekali," tegas dia Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, persoalan stabilisasi rupiah merupakan tanggung jawab BI, bukan pemerintah. Namun diakuinya, BI pernah salah langkah membentuk ekspektasi pasar terhadap kebijakannya.

"Beberapa bulan lalu, sekitar Februari atau Maret, BI menyerap banyak dolar AS supaya cadangan devisa naik. Tanpa sadar ternyata langkahnya menyebabkan pasar kekeringan dolar AS dan pasar berpikir kita ingin memperlemah nilai tukar," jelasnya.

Menurutnya, ekspektasi sengaja memperlemah rupiah sudah tertanam dibenak pelaku pasar, sehingga sulit bagi BI untuk membalikkan keadaan. Hanya saja, lanjut Purbaya, BI akhirnya insyaf untuk kembali memperbaiki ekspektasi tersebut setelah rupiah melewati 14.000 per dolar AS.

"BI Insyaf dan ingin membalikkan ekspektasi, tapi tetap saja salah langkahnya. Kadang-kadang intervensi di pasar valas tidak jelas, dan mereka masih malu-malu intervensi di pasar obligasi, sehingga harga obligasi kita terkoreksi," terangnya.

Parahnya lagi, kata Mantan Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis Kantor Staf Kepresidenan itu, saat harga obligasi jatuh, pihak asing yang berinvestasi di portofolio obligasi di Indonesia takut dan akhirnya beralih ke dolar AS.

"Langkah ini menambah tekanan ke kurs rupiah. Jadi BI belum optimal mengendalikan nilai tukar," ucap Purbaya.

Dia menyarankan, agar BI mampu memberikan sinyal positif bahwa Bank Sentral sangat berharap kurs rupiah menguat. Caranya, sambung dia, BI harus jelas dalam intervensi di pasar obligasi. Bank Sentral harus lebih aktif membeli obligasi tersebut.

"Hampir 40 persen pemegang obligasi kita orang asing. Jika mereka takut pegang obligasi Indonesia, dampaknya akan sangat signifikan apabila mereka keluar atau menjual oblligasinya. BI jangan takut membeli obligasi itu tanpa harus menunggu harganya murah," tutur Purbaya.

Dia menilai, kebijakan BI saat ini masih pengetatan di pasar uang sehingga belum efektif menopang perekonomian nasional, justru memperlambat ekonomi semakin jauh. Bahkan disarankan Purbaya, BI harus hati-hati jika masih ingin merealisasikan kebijakan tersebut.

"Dalam keadaan seperti ini jelek, karena ekonomi kita melambat dan investor akan cenderung meninggalkan kita untuk investasi di negara lain dengan pertumbuhan cepat. Kalau masih diperketat ke depan untuk jaga nilai tukar rupiah, dampaknya bisa jelek sekali. Seperti 1997-1998, BI Rate sempat naik 70 persen lebih, tapi rupiah bukan menguat, malah hancur, ekonomi hancur. Jadi BI harus hati-hati sekarang," papar Purbaya. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.