Sukses

Harga Solar Nelayan Masih Mahal, Ini Penyebabnya

Nelayan di Indonesia masih belum bisa mencari ikan dengan tenang.

Liputan6.com, Jakarta - Nelayan di Indonesia masih belum bisa mencari ikan dengan tenang. Hal tersebut lantaran masih tingginya bahan bakar minyak (BBM) jenis solaruntuk nelayan, meski harga BBM jenis ini sudah turun beberapa waktu lalu.

Ketua DPW Nelayan Teluk Jakarta, M Taher mengatakan, hingga saat ini harga solar bagi nelayan masih sangat tinggi, bahkan hingga mencapai Rp 12 ribu per liter. Padahal harga BBM bersubsidi tersebut belum lama ini diturunkan menjadi Rp 6.700 per liter.

Dia menjelaskan, tingginya harga solar tersebut lantaran nelayan tidak bisa membeli langsung solar ke SPBU. Sementara nelayan harus membeli solar dari tempat khusus yang telah ditunjuk, yaitu Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN).

"Permasalahannya nelayan kan tidak bisa beli di pom bensin karena aturanya tidak boleh. Kan kalau untuk kapal belinya harus pakai jerigen dan jumlahnya banyak. Nanti malah dituduh menimbun," ujarnya di Jakarta, Senin (19/10/2015).

Dia menjelaskan, untuk bisa membeli di SPDN pun, nelayan harus melewati tiga pintu dan tidak bisa membeli sendiri. Pembelian solar dilakukan secara kolektif oleh pengurus nelayan.

"Jadi solar yang suplai ke tangki (SPDN) itu dijual ke pedagang dulu baru ke nelayan jadi mahal. Di Muara Angke ada pengelola solar, di sana untuk nelayan bisa beli ada beberapa pintu yang harus dilewati," katanya.

Untuk dapat melewati pintu-pintu tersebut, lanjut Taher, biasanya ada pungutan liar yang harus dibayar oleh nelayan. Tak tanggung-tanggung, setiap satu pintu ada pungutan liar sebesar Rp 20 ribu. Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun.

"Harus pakai pass, itu di stempel di Syahbandar, kemudian juga ada ormas-ormas tertentu dan lain-lain. Satu stempel itu bisa Rp 20 ribu dan sampai sekarang masih berlaku. Jadi SPDN itu seperti dikontrol oleh kelompok tertentu, mereka seperti mebentuk kerajaan kecil di sana," lanjutnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kesatuan NelayanTradisonal Indonesia (KNTI) Riza Damanik, berharap pemerintah segera membereskan permasalahan ini jika serius membenahi sektor miritim. Pemerintah harus benar-benar memberikan perhatiannya kepada nelayan yang juga menjadi penggerak roda ekonomi kerakyatan.

"Di perikanan tangkap, 60 persen ongkos itu berasal dari BBM. Ini sindikasi yang sebenarnya tidak sulit untuk dihentikan. Kita berharap ini segera diselesaikan," tandasnya. (Deny/Zul)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.